Laman

Senin, 11 Juni 2012

Krisis Kehati-Hatian



Kehati-hatian adalah bagian dari agama” (Prof. Dr.Rachmat Syafi’i)
Hati-hati dalam bertindak dapat menjadi salah satu jalan keselamatan, bukan berarti rigid atau kaku. Namun kehati-hatian bagian dari kedewasaan berfikir dan kematangan pribadi yang menghantarkan seorang insan kepada kesiapan dan ketenteraman.
Alkisah, suatu hari seorang gubernur mengutus kurir menghadap raja untuk suatu urusan kenegaraan. Istri gubernur menitipkan bingkisan berupa permata untuk permaisuri raja. Setelah itu, sang kurir membawa bingkisan berupa kain sutra indah.
Melihat kiriman itu, gubernur langsung menyitanya dan dianggap sebagai milik Negara. Istrinya tak terima. Namun dijawab sang suami, “kalau bukan istri gubernur, tak mungkin kau menerima hadiah ini. Kau telah menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri. Kurir yang kukirim tempo hari dalam rangka urusan Negara.”
“Tapi ini hadiah balasan pribadi dari permaisuri.” ujar sang istri.
“Benar, tapi urusan kirim mengirim ini telah menggunakan fasilitas Negara,” jawab gubernur.
Perdebatan semakin panjang. Baik gubernur maupun istrinya bersikeras dengan argument masing-masing. Akhirnya, urusan diserahkan pada hukum. Persidangan memutuskan. Hadiah itu sah menjadi milik istri gubernur, bukan milik Negara.
“Aku sudah menduga hadiah itu menjadi milikmu,” kata gubernur.
“Lalu mengapa kau bersikeras membawa hal ini ke pengadilan?” Tanya istrinya.
“Jika tidak diselesaikan lewat hukum, aku khawatir perkara ini menjadi fitnah. Aku harus memberi contoh pada rakyat.”
“Fitnah bagaimana?” tanya sang istri.
“Orang-orang akan berkata, ‘lihat, istri gubernur menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.”
Mendengar penjelasan suaminya, wanita itu pun mengerti. Dengan sukarela, hadiah itu ia serahkan pada Negara.
Tidak sedikit orang yang menganggap remeh perbuatan kecil sehingga menjadikan hal tersebut ta’ berarti sama sekali, namun tidak jarang hal kecil tersebut menjadi batu sandungan bahkan dapat menjerumuskan pelakunya pada kebinasaan.
Di negeri ini begitu banyak kekayaan yang dimiliki, baik dari hasil SDM maupun SDA yang melimpah ruah. Namun kenyataannya, sikap hati-hati dalam bertindak berbanding terbalik dengan jumlah kekayaan dari rahim negeri ini. Kekayaan negeri ini ibarat modal (ra’sulmaal) sedangkan sikap merupakan alat dalam pendayagunaannya (‘alah) sehingga dapat menghadirkan rahmat Allah Swt berupa kesejahteraan, atau sebaliknya kemurkaan-Nya.
Tapi kita dihadapkan dengan kenyataan, yang tak aneh jika di jam-jam dinas, kita masih menemukan mobil berplat merah berlalu lalang di jalan raya, atau terparkir ditempat-tempat hiburan. Atau mungkin telinga kita pun tidak asing dengan berita pernikahan para keluarga pejabat di tempat-tempat yang notabene merupakan istana rakyat.
Alih-alih tontonan penyalahgunaan fasilitas Negara ini disuguhkan pada masyarakat awam, sebagai salah satu bentuk pendidikan ‘karakter’ para pejabat untuk masyarakat. Di sisi lain penggunaan fasilitas untuk masyarakat dibatasi dengan alasan penghematan.
Teringat kisah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu minyaknya ketika datang seseorang yang ingin membicarakan hal di luar urusan Negara. Sikap ini begitu mahal rasanya untuk dapat kita temukan saat ini.
Hal inilah krisis terbesar yang kini melanda negeri khatulistiwa ini. Negeri muslim terbesar di dunia. Negeri yang hampir gagal jika ketidak hati-hatian ini terus berlanjut tanpa ishlah, tanpa qudwah. Mari berbenah!
Jika kau melewati suatu jalan yang penuh duri, dan engkau melewatinya dengan penuh kehati-hatian tanpa harus melukai diri maka begitulah taqwa (Umar Ibn Khatab).