Dulu di tengah canda antara penghuni kos-kosan di gang Jengkol, Ceger, Pondok Aren, sambil mencuci atau ketika sedang setrika baju di pagi hari, kami, saya dan teman-teman satu kos sering bersaut tentang sosok perempuan, akhwat sang calon istri idaman kelak, bayangan sosok yang ideal tentunya, disela lirik nasyid:
Istri cerdik yang sholihatPenyejuk mataPenawar hatiPenajam fikiran
Di rumah dia istri dijalanan kawanDikala kita buntu dia penunjuk jalan
Saat itu, menurut kami seorang calon istri adalah, seorang perempuan, seorang akhwat yang ngerti agama, qonaah, tawadhu, tentunya seorang yang sempurna sebagai calon ibu, cantik (tentunya), sabar, romantis, bisa manjain suami (maunya), idealisme yang sempurna.