Mungkin jahiliyah ialah kata terpopuler terkait riwayat hidup Nabi Muhammad SAW. Kata dalam Bahasa Arab ini menjadi titik tolak kiprah Sang Revolusioner Sejati dambaan semua manusia itu. Sejak kanak-kanak dahulu hingga kini kata tersebut seakan sudah mengendap di memori kebanyakan dari kita. Namun, tahukah kita hakikat kata tersebut?
Makna Jahiliyah
Pada dasarnya kata jahiliyah kerap kali dihubungkan dengan jahil, yang berarti bodoh atau kebodohan. Tentu jahiliyah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan hadits tak berhenti pada definisi ini. Sebagaimana kata “shalat” yang asalnya bermakna “doa”, kemudian memiliki definisi dalam konsep Islam sebagai berikut: “serangkaian ibadah kepada Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tata caranya sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW”. Demikian pula banyak kata lain seperti zakat, iman, kufur, dan lain-lain.
Lalu, apa dan bagaimana sebenarnya karakteristik jahiliyah itu? Berikut beberapa pengertian jahiliyah yang dimaksud dalam terminologi Islam (dikutip dari www.alsofwah.or.id):
Inilah konsep jahiliyah paling kentara. Dimana kebodohan yang dimaksud ialah ketidaktahuan tentang kepada siapa dan bagaimana kita beribadah. Masyarakat Quraisy era awal kenabian bukanlah yang tak tahu siapa Ilah (sembahan) mereka, tetapi mereka salah dalam tataran teknis beribadah kepada Allah SWT. Artinya, sebenarnya benih tauhid peninggalan Nabi Ibrahim AS sebenarnya masih ada. Perbuatan taklid buta seorang pemimpin Bani Khuza’ah bernama Amr bin Luhay kemudian membawa bangsa Arab menyembah berhala-berhala bernama Hubal, Manat, Uzza, dan lain-lain (Al-Mubarakfuri, 1414 H). Syeikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri menambahkan bahwa penyimpangan mereka dalam hal ini tak hanya dari sisi ibadah ritual. Mereka juga sangat percaya kepada ath-thiyarah, yaitu meramal sesuatu dengan perantara burung atau biri-biri. Ini dilakukan saat akan menentukan satu di antara dua atau lebih pilihan. Padahal Allah SWT yang memiliki kuasa menunjukkan mana yang lebih baik untuk kita. Miskonsepsi tentang Ilahiyah ini pula yang pernah menjangkiti kaum Nabi Musa AS (Baca QS Al-A’raf: 138).
2. Terjebak pada Perbuatan Menyalahi Perintah Allah dan Hal yang Diharamkan
Pengertian tentang ini bisa kita simpulkan dari QS Yusuf: 33. Singkatnya, kaum jahiliyah masa itu banyak menyelisihi apa yang Allah perintahkan sambil asyik berbuat yang telah diharamkan-Nya. Contoh sederhananya ialah membunuh anak perempuan. Ini sudah menjadi tradisi di masa itu. Bahkan Umar bin Khathab pernah pula melakukannya sebelum masuk Islam. Hingga kemudian ini paham ini diberantas dengan konsep memuliakan perempuan yang Islam bawa.
3. Berhias dan Bertingkah Laku Menyalahi Perintah Allah.
Ketika Allah SWT memerintahkan kesederhanaan serta tingkah laku yang mulia, masyarakat jahiliyah justru saling menyombongkan antar sesama kaum berada. Tak segan pula mereka menindas rakyat kecil jika mereka tidak menyukainya. Firman Allah dalam QS Al-Ahzab: 33 menyiratkan jahiliyah dalam pengertian seperti ini.
4. Berhukum dengan Selain Hukum Allah
Tentu hukum yang dimaksud di sini tak hanya dalam tataran pemerintahan saja. Ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai kejujuran, keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain yang sudah menjadi standar universal juga masuk kategori ini. Kebanyakan apa yang mereka putuskan hanya berdasarkan asas “siapa yang kuat, dia yang menang”. Mereka tak hiraukan lagi hukum yang telah diwariskan Nabi Ibrahim AS Kita bisa menyimpulkan hal ini dari QS Al-Maidah: 50.
Namun demikian, Syeikh Al-Mubarakfuri tak memungkiri banyak pula masyarakat jahiliyah kala itu yang masih memiliki beberapa sikap hidup positif. Di antara akhlaq tersebut ialah kedermawanan, memenuhi janji, pantang mundur, keberanian, dan lain-lain. Sehingga, memang sepertinya fokus utama makna jahiliyah lebih cocok dititikberatkan pada poin pertama. Artinya, meskipun masih ada sebagian yang mempraktekkan akhlaq terpuji, pandangan tentang konsep ibadah kepada Allah SWT yang salah kemudian membawa mereka kepada banyak kesalahan lain.
Jahiliyah Modern?
Melihat pengertian jahiliyah di atas, banyak orang kemudian menyebut saat ini pun kita masih berada dalam zaman jahiliyah. Lebih tepatnya yaitu “jahiliyah modern”. Bolehlah kita tak setuju tentang istilah ini. Namun, yang terpentingnya ialah bagaimana kita seharusnya menyikapi keadaan saat ini.
Muhammad Quthb dalam bukunya, Jahiliyatul Qarnil ‘Isyrin (Jahiliyah Abad 20), menyimpulkan bahwa jahiliyah modern merupakan ringkasan dari segala bentuk kejahiliyahan masa silam dengan tambahan aksesori di sana-sini sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap jahiliyah modern tidak timbul secara mendadak melainkan telah melalui kurun waktu panjang (www.unhas.ac.id).
Sebagaimana bisa kita saksikan, memang kita tak bisa mengelak bahwa dunia ini belum bisa lepas dari cengkeraman jahiliyah secara total. Masih terlalu banyak sisi kehidupan yang belum tercelup dengan keagungan Islam. Di balik makin gencarnya syi’ar Islam, musuh-musuh Islam pun getol menghembuskan paham jahiliyah modern ini. Dengan kemasan elegan dan modern banyak kaum Muslimin yang tergiur mencicipinya. Tentu setelah mencicipi, yang terjadi bukan berhenti setelahnya, tetapi justru ketagihan.
Aksi Kita
Mengetahui masih berlangsungnya periode jahiliyah lanjutan ini, hendaknya kita tak tinggal diam. Kita harus mencontoh spirit dan tindakan yang Rasulullah SAW lakukan kala itu. Tentu beberapa penyesuaian juga perlu kita lakukan dalam aksi yang akan kita lakukan. Namun, pondasi prinsip perbaikan yang kita lakukan harus tetap berpijak pada Nabi Muhammad SAW. Contohnya, jika Rasulullah saat itu memulai dakwah dengan pemurnian tauhid, maka kita pun patut contoh beliau. Paham atheis, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), materialis, dan paham lain yang mencederai Islam harus jadi konsentrasi kita. Ketika pemikiran kita sudah baik, maka tindakan Insya Allah akan baik pula. Demikian yang Dr. Wan Nor Muh. Dawud pernah ungkapkan. Rasulullah SAW juga pernah mensinyalir hal ini dalam beberapa sabdanya. Artinya, di sini posisi keyakinan dan pemikiran harus terus sejalan dengan apa yang Islam telah ajarkan.
Kemudian, upaya pembinaan generasi muda juga telah Rasulullah SAW contohkan. Tak heran jika kemudian muncul sosok seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Abbas, Mush’ab bin Umair, Khalid bin Walid, dan banyak sahabat Nabi SAW yang mencapai kematangan spiritual di usia muda. Kematangan mereka merupakan kematangan paripurna di berbagai sisi kehidupan. Mereka pun menjadi motor penggerak utama yang siap membantu dakwah Rasulullah. Oleh karenanya, semboyan “Pemuda saat ini adalah pemimpin masa mendatang” harus kita pegang kuat-kuat jika menginginkan risalah Islam tetap langgeng.
Selanjutnya, misi memulihkan kepercayaan manusia kepada Islam sebagai solusi juga penting. Rasulullah SAW sadar bahwa walaupun Islam di Madinah waktu itu sudah lebih baik daripada saat masa jahiliyah di Mekah. Namun, beliau tak lupa bahwa beliau diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Artinya kedatangan beliau dengan risalahnya harus pula dirasakan dampaknya oleh selain umat Islam. Akibatnya, kehidupan damai beserta kaum lain agama pun tercipta kala itu. Beliau sebagai pimpinan tak semena-mena dan kaum non Muslim pun segan hormat terhadap beliau dan Islam. Wajar pula jika kemudian banyak bangsa lain memilih “ditaklukkan” kaum Muslimin daripada di bawah pemerintahan kaum lain yang zhalim. Ini memberi pelajaran kepada kita semua bahwa kita pun selayaknya memiliki tujuan ke arah sana. Ketika semua manusia belum bisa menerima Islam sebagai diin, maka kita harus bisa yakinkan bahwa sebenarnya mereka membutuhkan Islam. Akhirnya, ketika perasaan itu telah tumbuh subur pintu keluar dari jahiliyah model apa pun semakin dekat.
—
Terinspirasi dari buku Sirah Nabawiyah karya Syeikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.