Laman

Sabtu, 26 Mei 2012

Bukan Jomblo, Tapi Single



Assalamu’alaikum.
Ehemm, sejujurnya saya bingung nih mau mulai dari mana kalo mau nulis tentang cinta. Soalnya, masalah cinta itu rumit dan ribet, nggak kalah sama permasalahan yang ada di Indonesia. #lebayy, hehe…
Kalo ngomongin remaja, nggak jauh deh dari yang namanya cinta. Mulai dari jatuh cinta, PDKT (singkatan dari PenDeKaTan), jadian, putus, jatuh cinta lagi, PDKT lagi, jadian lagi, putus lagi, dan begitu seterusnya. Ternyata bukan cuma makanan yang punya rantai, ternyata cinta juga lohh. Hehe…
Sampe akhirnya muncullah taglinenya si Pocooong (hantu bohongan yang eksis di Twitter) yang bilang kalo “Jomblo itu nasib, Single itu prinsip.” Nahh lohh?? Ko bisa si Pocoong ngomong kaya gitu?? Ohh, ternyata zaman sekarang ini, para jomblo atau remaja yang nggak pacaran itu dibilang nggak gaul dan nggak asyik. Wahh bahaya juga nihh, pantes aja si Pocooong ngotot bilang kalo dia bukan Jomblo, tapi Single. Ckckckck.

Ketawadhuan Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah bercerita: “Aku belajar lima masalah dalam ibadah haji dari seorang pencukur rambut.” Berikut ini kisahnya:
Setelah aku menyelesaikan manasik haji aku pergi ke tukang cukur untuk mencukur rambutku.
Aku bertanya kepada tukang cukur: “Berapa ongkos mencukur rambut?”
Tukang cukur itu berkata: “Ini adalah ibadah, dan ibadah tidak mensyaratkan apa pun. Duduklah!” Aku pun duduk dan membelakangi kiblat.
Dia berkata: “Hadapkan wajahmu ke arah kiblat!”
Ku berikan kepalaku sebelah kiri untuk dicukur terlebih dahulu. Dia kembali berkata: “Putar kepalamu ke arah kanan.”
Maka aku pun memutar kepalaku ke arah kanan. Dia langsung mencukur rambutku dan aku diam saja. Dia berkata lagi: “Bacalah takbir (Allahu akbar)!”
Aku pun terus membaca takbir sampai dia selesai mencukur. Ketika aku berdiri dia berkata: “Mau ke mana kamu?”

Menikmati Kekalahan



Tidak pernah ada dua pemenang dalam setiap pertempuran. Sebagaimana bulan dan matahari yang tidak pernah menampakkan cahaya sama terang dalam waktu bersamaan. Satu menang dan yang lainnya harus kalah. Seperti itulah kejadiannya, dalam seluruh pertempuran. Bahkan pertempuran diri kita dengan impian-impian kita sendiri yang ingin kita taklukkan.
Sudah menjadi sifat alam bahwa kita tidak akan pernah mau dan tidak akan pernah rela untuk kalah. Karena kita dicipta sebagai pemenang. Katanya, sebagaimana tayangan film dokumenter, jutaan sel sperma berlomba untuk membuahi sel telur dan hanya ada satu pemenang dalam perlombaan itu, itulah yang menjadi kita.
Kita telah terlalu terbiasa dengan kata menang. Bahkan jauh lebih dari itu, bahwa selalu menang adalah sebuah keharusan dalam segala hal, tanpa kecuali. Karena kata kalah berarti lemah. Karena kata kalah identik dengan ketidakberdayaan atau cukuplah ia seperti kegelapan tanpa cahaya.

Aku Ingin Menjadi Permata



Desir angin senja ini membuai anganku melayang mengarungi samudera khayal. Terbayang indah masa dua tahun lalu tatkala aku baru masuk SMA. Masa-masa itu kurasakan adalah masa-masa indah tanpa beban. Masa-masa kegembiraan tanpa masalah-masalah tentang hari esok. Sekarang, sinar matahari senja yang mulai redup ini seakan menambah berat beban pikiranku.
Kelas tiga SMA. Ujian semakin dekat. Beban belajar sungguh banyak. Belum lagi les tambahan dari sekolah setiap paginya. Juga les tambahan di lembaga bimbingan belajar seminggu tiga kali. Terasa mau pecah kepalaku. Aku tak mengira akan begini pusingnya menghadapi Ujian Nasional.
Tiap hari kedua ayah ibuku menekanku agar terus belajar. Waktu untuk bermain keluar pun dipotong habis. Setiap aku mau keluar selalu saja ditanya mau ke mana dan berapa lama. Dan kalau aku kelamaan bermain di luar rumah, saat pulang pasti aku disuguhi beraneka ragam omelan. Sungguh berat hidup ini kurasa. Persoalan di kelas pun seakan tak mau berdiam diri untuk membiarkanku tenang barang sejenak. Dari ribut kecil-kecilan dengan teman sekelas sampai saling mendiamkan selama beberapa hari membuatku ingin pergi saja dari sekolah ini. Ah, dunia sungguh menghimpitku. Aku merasa sesak.

Keju Termahal, Kejujuran



Di antara sekian banyak jenis keju di seluruh dunia, ternyata keju jenis inilah yang terbaik. Terbaik dan termahal ditilik dari sisi manapun. Keju Swiss, keju putih, atau keju jenis apapun kalah jauh dibanding keju yang satu ini. Kejujuran.
Jika melihat elit politik negeri ini sekarang, terlalu banyak yang tak berkesempatan mencicipi lezatnya keju ini. Kejujuran, menjadi sesuatu yang mahal dan langka di antara mereka. Berkelit dengan dalih lupa, tidak kenal, atau dengan 1001 manipulasi di hadapan pengadilan manusia, membuat mereka semakin jauh dari asap kejujuran.
Di luar sana bahkan beredar sebuah keyakinan, “Sapa jujur bakal ajur” yang artinya siapa yang jujur akan hancur. Prinsip ini mungkin telah menghinggapi sebagian masyarakat kita. Tak heran korupsi menjadi hal yang bercokol pada lapisan terendah masyarakat (grass root) hingga elitnya.

Badannya Satu, Tugasnya Banyak



Allah memberikan kita “tugas-tugas” yang harus terselesaikan bukan karena Ia tak sayang pada kita, justru itulah tanda cinta-NYA kepada kita.
Ngomong-ngomong soal tugas-tugas yang harus terselesaikan, tentulah kita pernah menghadapi beberapa tugas/amanah yang melambai-lambai ingin segera di kerjakan. Di kuliah banyak tugas, di organisasi juga banyak agenda padahal organisasi yang diikuti lebih dari satu, apalagi yang sudah kerja, tambah-tambah membuat pusing harus mengerjakan yang mana.
Badan yang cuma satu, otak yang nggak lebih gede dari bola sepak, tangan yang cuma dua, kaki yang cuma dua juga, kadang membuat kita merasa “uuurgh, nggak sanggup nggak sanggup nggak sanggup”. Terjadilah aksi galau seharian akibat bingung mau mengerjakan yang mana dulu padahal semuanya dikejar deadline.