“Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.” (kalam hikmah)
Ibarat orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Apapun kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapan pun ia tak akan sampai ke tujuan. Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin pohon mangga membuahkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.
Demikianlah saudaraku, sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan.
Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan.
Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun untuk kita bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih.
Tidak demikian halnya bila keikhlasan ikut menyertai, kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasakan tidak hanya oleh si empunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetesbasahi setiap diri yang kerontang dalam keringnya jiwa.
Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci. Niat adalah kesengajaan melakukan amal, dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subhanallah. Maha Suci Engkau ya Allah.
Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu keisengan duniawi.
Terus, dimana kita bisa menemukan kesucian niat ini?
Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama hati, dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang betul-betul bersih dari berbagai kotoran.
Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.
Kalam hikmah di atas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih.
Cukupkah dengan hati yang bersih?
Tentu belum, gambarannya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepada kita, akan tetapi di dalam gelas bersih tersebut tak terdapat air bersih setetes pun.
Apalah artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus?! Tetap saja ia kehausan.
Berarti kita harus mengisi “air” ke dalam “gelas” hati kita? Ya, air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan.
Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang kita tuangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun di saat kita kehausan. Lantas, mana yang harus kita dahulukan? Membersihkan hati terlebih dahulu atau mengisinya? Ibarat gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mengisinya dengan air.
Allah Ta’ala berfirman; “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mesucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al Jumu’ah: 2)