Laman

Kamis, 28 Juni 2012

Berubah Dengan Mimpi-Mimpi Besar



Saya yakin, bahwa kita semua pasti menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Namun tak semua orang mampu untuk menggapai dan melakukan perubahan itu. Mungkin karena ia merasa belum siap dengan perubahan, atau bisa jadi karena tidak punya nyali (lemah mental, atau tidak mau meninggalkan tabiat dan kebiasaan lama) untuk menerima perubahan itu.
Namun sebagai seorang mukmin seharusnya kita tidak lagi mempertanyakan diri kita siap atau tidak, pantas atau tidak, akan tetapi sebaliknya kita justru harus mencari dan mengejar perubahan itu, karena nasib tidak akan berpihak kepada orang yang hanya berdiam diri saja. “Innallaha la yughayyiru ma bi kaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.
Barangkali banyak kisah yang dapat mengetuk pintu hati kita. Dalam berbagai riwayat banyak yang menyimpulkan bahwa perubahan besar sering kali dilakukan oleh insan-insan yang memiliki mimpi-mimpi besar. Mereka yang sayang akan hidupnya yang sementara ini, segera mengambil keputusan untuk melakukan perubahan. Sebut saja seorang pencari hakikat kebenaran (Al-Bahits ‘an al- haqiqah) Salman Al-farisi, sahabat yang menjadi aktor penting dalam perang Khandak.

Agar Jeruk Kecut tak Terbuang Percuma



“Hidup ini kejam”, kata politisi. “Hidup ini keras”, nasihat seorang guru. “Hidup ini pahit”, kata pedagang sayur. “Pahitnya bahkan melebihi buah pare!” Itulah kenyataan yang sering kita hadapi dalam keseharian kita tiap hari. Tagihan listrik, air, telepon, iuran RT, anak-anak sekolah dan berbagai tagihan lainnya bikin kita senewen sepanjang bulan. Walau demikian, tak usah cemberut. Tetaplah tersenyum menghadapinya agar pasangan hidup Anda saat melihat Anda tidak seperti melihat tagihan listrik!
Saudaraku, para mahasiswa dan pasangan muda yang baru menikah, nikmatilah hidup di kontrakan. Percayalah, di dunia ini semua manusia mengontrak. Hanya tenggat waktu “kontrakan” saja yang berbeda. Beruntunglah kalian sebab diingatkan oleh ibu kost tiap bulan agar senantiasa terjaga bahwa pasti ada akhir dari setiap kontrakan.
Saudaraku, para bapak dan ibu yang telah nyaman di rumah sendiri, bayarlah pajak rumahmu. (Ini bukan iklan pajak!). Saya hanya ingin kita semua tersadar, tak ada makan siang yang gratis. Semua harus bayar. Kita mengira telah memiliki rumah seutuhnya, padahal tidak! Saat membangun, Anda mengajukan izin ke lurah dan camat – padahal di atas hak tanah kalian. Setelah bangunan selesai dan ditempati, kita membayar pajak setiap tahun ke negara. Tak pernah Anda betul-betul memiliki sebidang tanah dengan rumah di atasnya. Hakikatnya Anda hanya mengontrak. Hanya saja Anda tak ditagih ibu kost dengan wajah cemberut yang memakai daster lusuh dan gulungan rambut yang belum sempat dibuka!

Kader Imun vs Kader Steril



Seorang al-ustadz pernah menyampaikan bahwa “Proses Tarbiyah ini harus bisa menghasilkan kader yang imun bukan sekadar kader yang steril, karena Meningkatkan Imunitas itu sama pentingnya dengan menjaga sterilitas“.
Dalam konteks pembinaan, kader yang steril adalah kader yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang sudah terjaga, terisolasi dan jauh dari pengaruh lingkungan buruk.  Sedangkan kader yang imun adalah kader yang sudah dipersiapkan untuk bisa menjaga dan membentengi diri dari pengaruh lingkungan luar. Ia membangun ‘daya tahan’ terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Kader yang imun sudah terbina untuk tetap terjaga dalam kondisi dan situasi seperti apapun, hatta ketika berada pada kondisi terburuk sekalipun. Sehingga ketika ia sudah keluar dari masa ‘karantina’ atau masa sterilisasi, ia tak mudah terkontaminasi dengan keadaan sekitar