Istanbul
atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar
termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya
pada masa Kesultanan Usmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan
pengaruh Islam di banyak negara.
Bandar
ini didirikan tahun 330M oleh Maharaja Bizantium yakni Costantine I.
Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam
memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah SAW juga telah
beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan
umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah pada perang Khandak.
Para
khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel.
Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan
tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah
Umayah.
Di
zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui
kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190H. Setelah
kejatuhan Baghdad tahun 656H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh
kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk.
Pemimpinnya, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar
Roma, Dimonos, tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran
Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Awal
kurun ke-8 hijrah, Daulah Usmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk.
Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai
Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildrim Beyazid saat dia
mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh
Sultan Beyazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara
aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena
datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur
Leng.
Selepas
Daulah Usmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat
jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah
mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha
menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota
itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam.
Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara
Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau,
Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Usmaniyah.
Semenjak
kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan
Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang
sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya
meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia
telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.
Kekuatan
Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia
dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya,
yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi
murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa
orang ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir
Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa
kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.
Waktu
bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan,
Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa
ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus
menghafal Alquran dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Ak
Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki.
Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Alquran, hadis, fikih,
bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan
sebagainya.
Syeikh
Semsettin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang
dimaksudkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis pembukaan Kostantinopel. Ketika
naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Semsettin untuk menyiapkan
bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu
selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak
250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu
diingatkan akan pesan Rasulullah SAW terkait pentingnya Konstantinopel bagi
kejayaan Islam.
Setelah
proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di
kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M.
Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan
tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di
hadapan Allah SWT. Dia juga membacakan ayat-ayat Alquran mengenainya serta
hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan
semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan
zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.
Sultan
Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium
di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana
di angkasa Konstantinopel. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama
tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka
memperbanyak shalat, doa, dan zikir.
Hingga
tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jamadil Awal 857 H atau bertepatan dengan
tanggal 29 Mei 1453, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan
supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentera
Usmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne
dan mereka mengibarkan bendera Daulah Usmaniyah di puncak kota. Kesungguhan dan
semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya
mengantarkan cita-cita mereka.
( berbagai sumber )