Berbaur dengan orang lain bukan tanpa resiko. Itu sebabnya Rasulullah saw lebih
memuji orang yang mau berbaur dengan masyarakat dan mampu bersabar atas resiko
dan kesulitan-kesulitannya, ketimbang orang yang tak mau berbaur dan tak mampu
bersabar. Jadi syaratnya jelas, sabar.
Tanpa sabar bukan mustahil
perbauran justru mendatangkan akibat negatif.Orang yang tidak sabar, bukannya
mampu memberi warna dan pengaruh pada orang lain, tapi dikhawatirkan justru ia
terbawa dan terwarnai oleh lingkungannya.
Dan kesabaran tak mungkin
berdiri sendiri. Ada perangkat lain yang dibutuhkan agar seseorang mampu
bertahan dan bersabar menghadapi berbagai gejolak dan resiko dari
berbaur.
Pertama, memelihara niat ikhlas. Fondasi ikhlas yang kokoh
takkan mampu menggoyahkan pemiliknya ketika ia harus menghadapi situasi sulit
akibat dari kebenaran yang ia lakukan. Hidup berbaur dengan tetap mempertahankan
identitas dan prinsip pasti menghadapi banyak tantangan. Bukan saja tantangan
yang sifatnya menekan atau menghalangi, tapi juga tantangan yang datang dari
pintu rayuan dan godaan. Disinilah keikhlasannya diuji. Karenanya, keikhlasan
menjadi faktor terpenting untuk bisa menjadi pribadi yang kuat bertahan dengan
prinsip dalam berbaur.
Kedua, meningkatkan ilmu pengetahuan. Seorang
muslim dimanapun mempunyai misi. Sebuah misi harus diiringi dengan wawasan
muatan pesan yang dibawanya. Wawasan ilmu dalam hal ini mencakup ilmu syariat
yang berkait langsung dalam kehidupan masyarakat. Kekurangan bekal ilmu dapat
menyebabkan seseorang terlalu mempermudah atau mempersulit masalah. Seorang
muslim harus mengetahui batas keluasan dan keluwesan Islam. Sampai dimana
batas-batas yang bisa ditolerir oleh syariat dan dimana batas-batas yang tidak
dapat ditolerir. Rasulullah saw bersabda, “Berilah kabar gembira dan jangan
menceraiberaikan. Permudahlah, jangan mempersulit.”
Ketiga, menjaga
keteladanan dalam perilaku. Hal ini penting, karena umumnya masyarakat tidak
terlalu tertarik pada uraian kata berupa nasihat atau wejangan. Mereka akan
simpatik justru pada sikap dan perilaku baik yang langsung mereka lihat. Para
ulama dakwah kerap mengumandangkan prinsip, “Ashlih nafsaka wad’u ghairaka,”
atau perbaiki dirimu baru seru orang lain. Ini adalan tuntutan dalam syariat
Islam.
Keempat, jangan lupa untuk selalu menjaga dan meningkatkan
kualitas hubungan dengan komunitas orang-orang shalih. Hal ini penting agar jiwa
kita tetap memperoleh suplai semangat dan penyegaran saat bertemu dengan mereka.
Rutinitas ini bahkan harus semakin ditingkatkan saat kita menghadapi banyak
permasalahan dalam hidup.
Kelima, memahami pedoman dan tahapan dakwah.
Kewajiban Islam itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana kemungkaran juga
bertingkat-tingkat. Diperlukan start tertentu yang berbeda-beda dalam mengadakan
pembenahan. Suatu pola yang berhasil diterapkan pada seseorang, belum tentu bisa
diterapkan pada orang lain. Selain pola pendekatan yang khas, seorang muslim
seharusnya meyakini bahwa sebuah perubahan selalu memerlukan waktu. Sehingga,
seorang muslim tidak akan mudah kecewa atau merasa gagal terhadap upaya
perbaikan yang dilakukannya.
Keenam, memahami seni bergaul dengan orang
lain. Berbaur dan berinteraksi dengan manusia tidak mudah karena masing-masing
mereka memerlukan pendekatan tersendiri, sesuai dengan
karakternya.
Ketujuh, perluas dan perbanyaklah pengalaman (tajribah).
Aspek ini mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pribadi yang bijaksana dalam
berbaur dengan orang lain. Orang yang memiliki pergaulan luas, dari sisi syariat
ilmunya lebih bermanfaat dan dakwahnya akan lebih cepat diterima karena ia telah
menempatkan diri sesuai kondisi. Pengalamanlah yang akan memunculkan potensi,
menambah kearifan dan kesabaran.
sumber: Tarbawi