Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang
terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah
gaya obrolan masyarakatnya.
Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan
masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka berada;
di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid. Dalam obrolan
mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut: “Berapa rumah yang sudah
engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada
di rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam
berbisnis? Dan semacamnya.
Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz
menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah
(reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya, lalu
kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola
obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya. Dalam obrolan mereka, terdengarlah
pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut: Hari ini engkau sudah membaca Al Qur’an
berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa pada
bulan ini? Dan semacamnya.
Mungkin diantara kita ada yang
mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu
sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa
mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini
merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah?
Dari aspek hukum syar’i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum
Umar bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya,
mubah, alias tidak ada larangan dalam syari’at. Akan tetapi, bila hal itu kita
tinjau dari sisi lain, misalnya dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal
itu menujukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa
juga kita katakan, telah terjadi obsesi pada ummat.
Pada masa Sahabat
(Ridhwanullah ‘alaihim), obsesi orang -dengan segala tuntutannya, baik yang
berupa feeling ataupun ‘azam, bahkan ‘amal -selalu terfokus pada bagaimana
menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan
apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas
bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi
itu telah berubah.
Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya
semangat jihad, semangat da’wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin
masyarakat agar mereka memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai
gaya hidup.
Al Hamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini
orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali “gaya” dan
“pola” obrolan masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa
khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi
gaya hidup masyarakat.
Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat
setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang
memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin). Tujuan
dia memasuki wilayah Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum
muslimin mengobrol, ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin
mengobrol. Sebab dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana
obsesi kaum muslimin saat itu. Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan
informasi tentang gaya kaum muslimin, tertumbuklah padangannya kepada seorang
bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia
menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan
satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun,
pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan
seekor burung.
Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil
kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah
terfokus pada jihad fi sabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu,
bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih diri untuk memanah dengan
baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka masih terobsesi untuk berjihad
fi sabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah itu tadi.
Antara
obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam
hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun
merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi.
Setelah masa berlalu
berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat
bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya mereka,
ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak terlupakan, ia
datangi pula masjid. Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu dalam hal
obrolan, semuanya sedang memperbincangkan: Budak perempuan saya yang bernama si
fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah
saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya bagus,
designnya canggih, luas dan sangat menyenangkan, dan semacamnya.
Merasa
yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang
mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah
disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di
bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu,
sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim.
Betapa seringnya
kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita sekarang ini?
Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita? Sadarkah kita
bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah
kita persiapkan sedemikian rupa? Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa
yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang baru saja
turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhuda salafush-Shalih
dan pengaruhnya dalam efektifitas da’wah”.
Sehabis shalat Jum’at, anda
mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda
dan mereka memperbincangkan Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar
dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang
sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang
di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira
menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya. Cobalah anda menerka, pengaruh
apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka
akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang
anda sampaikan lewat obrolan?
Sekali lagi, memang obrolan semacam itu
bukanlah masuk kategori “terlarang” secara syar’i, akan tetapi, saya hanya
hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da’wah ilallah.
Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya obrolan
kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang terjadi saat
kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi antar sesama
aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita. Saat itu, obrolan kita
tidak pernah keluar dari da’wah, da’wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang?
Silahkan masing-masing kita menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita
da’wah dan tarbiyah saat itu dengan seringnya kita mendengar adanya dha’fun
tarbawi di sana sini, Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber :
www.keadilan.or.id
Penulis : Musyaffa’ Ahmad Rahim