Laman

Kamis, 28 Juni 2012

Kader Imun vs Kader Steril



Seorang al-ustadz pernah menyampaikan bahwa “Proses Tarbiyah ini harus bisa menghasilkan kader yang imun bukan sekadar kader yang steril, karena Meningkatkan Imunitas itu sama pentingnya dengan menjaga sterilitas“.
Dalam konteks pembinaan, kader yang steril adalah kader yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang sudah terjaga, terisolasi dan jauh dari pengaruh lingkungan buruk.  Sedangkan kader yang imun adalah kader yang sudah dipersiapkan untuk bisa menjaga dan membentengi diri dari pengaruh lingkungan luar. Ia membangun ‘daya tahan’ terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Kader yang imun sudah terbina untuk tetap terjaga dalam kondisi dan situasi seperti apapun, hatta ketika berada pada kondisi terburuk sekalipun. Sehingga ketika ia sudah keluar dari masa ‘karantina’ atau masa sterilisasi, ia tak mudah terkontaminasi dengan keadaan sekitar
Dakwah kampus misalnya, sering kita mendengar bahwa ada aktivis dakwah kampus yang semasa kuliahnya sangat begitu aktif dalam aktivitas dakwah bahkan menjadi salah satu penggeraknya, namun ketika sudah lulus kuliah dan berada dalam dunia kerja, seakan militansi yang selama ini ada luntur seketika. Tak ada lagi heroisme yang dulu ada, saat di kampus merasa begitu haus akan ilmu, berjalan mengunjungi satu majelis ke majelis lainnya di kampus. Namun, setelah lingkungan barunya tidak menyediakan fasilitas serupa, semangat menuntut ilmu pun dengan sendirinya semakin memudar. Enggan mendatangi majelis ilmu dengan alasan kerja atau keluarga. Seorang ikhwan misalnya, bila yang dibangun semasa di kampus hanya pada tataran sterilisasi diri dari pergaulan maka akan terjadi shock culture dan bisa jadi membawanya pada kondisi kefuturan. Atau pada diri akhwat, bila tak meningkatkan imunitas saat masa-masa penanaman ideology di kampus akan ada kemungkinan misalnya, semakin memperkecil atau memendekkan jilbab yang dipakainya.
Oleh karenanya, penting dibangun sebuah imunitas dalam diri seorang aktivis dakwah, agar kapan dan di manapun ia berada, ia tetap bisa mewarnai lingkungan, bukan terwarnai oleh lingkungannya. Yakhtalitu walakin yatamayyazun. Seorang kader bisa mewarnai bukan terwarnai. Kadang ada di antara kita yang sudah terlanjur merasa nyaman dengan lingkungannya, sehingga ketika memasuki dunia baru yang mungkin bertolak belakang, ia tak mampu menjaga keistiqamahannya seperti dalam lingkungan yang homogen tadi.
Akan tetapi, jangan sampai kita cukup berhenti dalam lingkungan steril itu. Karena, mau tidak mau, suatu saat kita pasti akan dihadapkan pada sebuah lingkungan dimana tingkat heterogenitasnya tinggi. Orang-orang dengan berbagai karakter dan worldview yang berbeda akan membaur membentuk suatu komunitas baru yang mungkin termasuk kita di dalamnya.
Wallahu A’lam bish showwab.