“Hidup ini kejam”, kata politisi. “Hidup ini keras”, nasihat seorang guru. “Hidup ini pahit”, kata pedagang sayur. “Pahitnya bahkan melebihi buah pare!” Itulah kenyataan yang sering kita hadapi dalam keseharian kita tiap hari. Tagihan listrik, air, telepon, iuran RT, anak-anak sekolah dan berbagai tagihan lainnya bikin kita senewen sepanjang bulan. Walau demikian, tak usah cemberut. Tetaplah tersenyum menghadapinya agar pasangan hidup Anda saat melihat Anda tidak seperti melihat tagihan listrik!
Saudaraku, para mahasiswa dan pasangan muda yang baru menikah, nikmatilah hidup di kontrakan. Percayalah, di dunia ini semua manusia mengontrak. Hanya tenggat waktu “kontrakan” saja yang berbeda. Beruntunglah kalian sebab diingatkan oleh ibu kost tiap bulan agar senantiasa terjaga bahwa pasti ada akhir dari setiap kontrakan.
Saudaraku, para bapak dan ibu yang telah nyaman di rumah sendiri, bayarlah pajak rumahmu. (Ini bukan iklan pajak!). Saya hanya ingin kita semua tersadar, tak ada makan siang yang gratis. Semua harus bayar. Kita mengira telah memiliki rumah seutuhnya, padahal tidak! Saat membangun, Anda mengajukan izin ke lurah dan camat – padahal di atas hak tanah kalian. Setelah bangunan selesai dan ditempati, kita membayar pajak setiap tahun ke negara. Tak pernah Anda betul-betul memiliki sebidang tanah dengan rumah di atasnya. Hakikatnya Anda hanya mengontrak. Hanya saja Anda tak ditagih ibu kost dengan wajah cemberut yang memakai daster lusuh dan gulungan rambut yang belum sempat dibuka!
Pedagang yang cerdas melihat keruwetan jadi peluang. Ia melihat setiap kerugian sebagai titik awal mencapai keuntungan. Sementara, pedagang yang malas hanya menanti hari mujur, padahal tiap hari adalah hari mujur. Seringkali kita saat menerima musibah, menjadikannya titik awal untuk mendapat musibah kedua yang kita ciptakan sendiri. Bukankah Imam Ahmad bin Hambal menghabiskan separuh hidupnya di penjara, tetapi dari itu, ia menjadi seorang alim yang disegani di kalangan ahlus sunnah. Bukankah Imam Ibn Taimiyah mendekam di tempat yang sama dan saat bebas dari sana, menjadi guru besar yang menulis ratusan buku utama dalam agama. Bukankah Ibnu Batutah, petualang Islam abad pertengahan, terdampar di sebuah pulau akibat perahunya karam. Ia tak pesimis, tetapi sebaliknya, Ibn Batutah berhasil menjadikan pulau itu sebuah negara. Itulah Maldives, negara sejuta cinta — maladewa, satu-satunya negara di dunia ini yang mencantumkan dalam konstitusinya, setiap warga negara Maldives wajib beragama Islam.
Kita sering pesimis ketika melihat sesuatu telah terlanjur terjadi. Padahal, tak ada yang percuma. Lihatlah para tukang bubur ayam itu. Mereka berhasil keluar dari ungkapan “nasi telah menjadi bubur”. Sebab mereka menjadikan yang terlanjur itu lebih enak yaitu bubur ayam. Lebih enak dari sekadar nasi, apalagi ditambah emping dan kerupuk di atasnya.
Bukankah ada kisah akan dua orang yang melihat isi sebuah gelas. Ucapan masing-masing berbeda. Andi berkata, “Gelas itu setengah kosong.” Anto berkata, “Gelas itu setengah penuh.” Pernyataan awal bersifat pesimis, sementara pernyataan kedua penuh optimisme. Karena itu, jika rezeki yang Anda dapat hari ini hanya sekantong jeruk yang kecut, jangan dibuang. Peras dan tambahkanlah gula, lalu campur dengan es batu dan hidangkan saat panas menyengat. Jeruk asam itu menjadi sangat nikmat.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ﴿١٣﴾
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Be yourself, and do not be others
Saudaraku, sering kali kita berusaha tampil bukan sebagai diri kita. Sehingga, yang terjadi adalah kelucuan yang tak sepatutnya. Oleh karena baru saja melihat teman memakai baju warna biru, Anda pun membeli warna yang sama. Padahal, warna kulit dia putih sehingga saat Anda melihatnya tadi pagi, pakaian itu serasi sekali dengan kulit tubuhnya. Anda? Bukankah kulit Anda sawo matang kejemur? Jadilah diri sendiri tanpa perlu menjadi orang lain. “Aku adalah aku”, kata Chairil Anwar. Ibn Mas’ud berkata, “اغد عالما او متعلماولا تكون امعة ” (Esok aku akan jadi seorang yang alim, atau pembelajar. Janganlah menjadi seorang yang hanya terpukau).
Nikmatilah ketentuan Allah atas kita untuk kita optimalkan sesuai kemampuan yang kita miliki. Dengan itu, kita akan menjadi pribadi yang sempurna! Tidak semua pemain drum-band itu harus jadi mayoret. Memang mayoret adalah pusat perhatian. Cantik, lincah dan dapat bergerak ke berbagai arah. Tetapi sebagian lainnya harus memukul drum, sebagian lain meniup terompet, bahkan ada yang hanya membawa kecrek. Dengan demikian, irama drum-band jadi padu, menarik, mengalir dan satu. Tak akan tertukar rezeki dan ketentuan Allah pada kita.
Demikian halnya ketika Nabi Musa diperintahkan untuk memukul batu, agar mengalir darinya air. Para kaum meminum dari dua belas mata air yang berbeda. Mereka sadar, setiap diri mereka adalah ketentuan Allah:
وَإِذِ اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ ﴿٦٠﴾
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS Al-Baqarah: 60)
Mari mengisi setiap waktu luang
Saudaraku, waktu luang seringkali melenakan kita. Padahal, Rasulullah mengingatkan, dua hal yang manusia sering lengah: sehat dan waktu luang. Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala menulis sebuah syair:
إني رايت وقوف الماء يفسده () إن سال طاب وإن لم يجري لم يطب
Aku melihat air yang berhenti, merusak dirinya sendiri (*) Jika mengalir ia niscaya bersih, dan jika tak mengalir, air itu tak lagi mensucikan (kepada yang lain).
Energi yang kita miliki dan tak digunakan untuk apa-apa, sungguh sangat merugikan. Setiap waktu adalah momentum dalam hidup ini. Jika Anda punya waktu luang, bekerjalah.
Hadapilah hidup apa adanya.
Sesungguhnya, hidup ini menjadi mudah, jika kita menghadapinya apa adanya. Jika kita pergi ke kondangan, sesungguhnya tak ada yang meminta kita untuk memakai baju atasan merah muda, bawahan merah tua, sepatu merah marun dan tas merah hati. Kita memaksakan diri melakukan demikian agar terlihat serasi dan matching. Padahal esensi kondangan adalah memenuhi jemputan shohibul bait. Rasulullah SAW mengingatkan, hak mukmin satu dengan lainnya ada enam. Salah satunya, jika diundang, datanglah. Kondangan telah berubah dari ajang silaturahim menjadifashion show.
Tabiat dunia itu penuh jebakan, dan kepuasan yang kita dapatkan darinya tak lebih dari sesaat. Lihatlah bagaimana kita memaksakan diri membeli gadget terbaru, padahal barang lama masih sangat bagus. Tahu apa sebabnya? Kita merasa cepat bosan. Bukankah setiap kali kita membeli hand-phone baru, dua tiga hari kemudian kita segera merasa jenuh. Padahal, untuk membeli hp itu, kita perlu menabung berbulan-bulan. Begitu seterusnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata,
ألا إن الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله …
Bukankah dunia itu terlaknat, terlaknat pula jika (mengejarnya) kecuali dengan berdzikir kepada Allah swt.
Shalat dan berdoalah
Jika semua sudah kita lakukan, tapi kok masih saja ada yang mengganjal, bikin uring-uringan, bergegaslah ambil air wudhu dan dirikanlah shalat. Rasulullah SAW acap meminta Bilal dengan berkata, “أرحنا يابلال بالصلاة ”. Segarkan kami wahai Bilal (dengan kau kumandangkan) shalat.
Shalat adalah ibadah yang sangat eksotis. Kita bersimpuh di hadapan pemilik semua sandiwara kehidupan dunia ini dengan meletakkan kening di altar sajadah. Tanah yang padanya kita letakkan kening itu telah membuat seluruh persoalan dunia yang kita hadapi seakan ikut ditelan bumi. Kita menjadi segar, fresh dan seratus persen kembali. Shalat, kata pepatah bijak Arab, adalah mi’raj seorang mukmin. Mi’raj? Apa maksudnya?
Kita tahu, mi’raj adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW ke shidratul muntaha, tempat akhir dari segala yang akhir. Perjalanan spiritual seperti itu membutuhkan energi yang cukup, bekal yang banyak dan stamina yang tak terbantahkan. Maka, bagi seorang mukmin, shalat menjadi kekuatan energinya dalam bermi’raj kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Memutar-balikkan hati manusia.
Shalat dan doa menjadi alat komunikasi kita secara vertical kepada Allah SWT. Kita tak perlu Wi-Fi untuk terkoneksi. Cukup ambil air wudhu dan tunaikan shalatmu. Buat apa punya gelar banyak tetapi tak pernah gelar sajadah. Shalatlah, karena itu amalan para Nabi saat mereka taqarrub kepada Allah SWT.
Demikian, renungan singkat ini. Semoga bermanfaat. Salam hormat.