Laman

Sabtu, 26 Mei 2012

Menikmati Kekalahan



Tidak pernah ada dua pemenang dalam setiap pertempuran. Sebagaimana bulan dan matahari yang tidak pernah menampakkan cahaya sama terang dalam waktu bersamaan. Satu menang dan yang lainnya harus kalah. Seperti itulah kejadiannya, dalam seluruh pertempuran. Bahkan pertempuran diri kita dengan impian-impian kita sendiri yang ingin kita taklukkan.
Sudah menjadi sifat alam bahwa kita tidak akan pernah mau dan tidak akan pernah rela untuk kalah. Karena kita dicipta sebagai pemenang. Katanya, sebagaimana tayangan film dokumenter, jutaan sel sperma berlomba untuk membuahi sel telur dan hanya ada satu pemenang dalam perlombaan itu, itulah yang menjadi kita.
Kita telah terlalu terbiasa dengan kata menang. Bahkan jauh lebih dari itu, bahwa selalu menang adalah sebuah keharusan dalam segala hal, tanpa kecuali. Karena kata kalah berarti lemah. Karena kata kalah identik dengan ketidakberdayaan atau cukuplah ia seperti kegelapan tanpa cahaya.
Namun, dalam fragmentasi kehidupan tidak selamanya kita menjadi pemenang. Kita tidak selalu unggul dalam segala hal, dalam setiap pelik ritme kehidupan yang kita jalani, termasuk juga dalam memenangkan realita atas idealita. Tidak semua yang kita impikan menjadi kenyataan. Tidak semua yang kita inginkan kita dapatkan.
Ada kala ketika kekalahan harus berpihak pada kita. Dan sudah pasti sangat berat untuk bisa kita terima. Karena bersamaan dengan itu muncul perasaan rendah, hina, dan tidak berdaya. Tapi itulah kenyataan yang mau tidak mau harus kita terima, sepenuhnya.
Ada satu yang kita lupa. Bukan karena lemah kita kalah. Melainkan, karena memang itulah jalan yang harus kita lalui, tanpa bisa memilih dan berbalik arah. Itu menjadi bagian dari detail takdir yang harus kita lalui dalam rangkaian panjang jalan kehidupan.
Sejatinya tidak ada itu kekalahan. Karena sejatinya kekalahan itu adalah kekalahan pada takdir hidup kita sendiri yang sudah diciptakan bahkan jauh sebelum kita dilahirkan. Itu berarti kekalahan nafsu kita dalam menginginkan segala hal, dan kita sejatinya dikalahkan oleh kekuatan di atas segala kekuatan, Yang Maha Perkasa.
Kekalahan itu sebenarnya adalah kemenangan dalam bentuk yang berbeda. Itu berarti kemenangan hati kita dalam menerima atas segala apa yang telah ditetapkan oleh sang Pencipta. Kemenangan kita dalam ujian kesabaran. Dan kemenangan kita dalam kepasrahan total terhadap apa yang sudah menjadi takdir hidup kita, tanpa mempertanyakan mengapa ini harus terjadi. Karena Dia tidak boleh ditanya atas apa yang dikehendaki-Nya. Namun sebaliknya, kitalah yang akan ditanya apa yang kita perbuat atas segala apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Mencari hikmah yang tersembunyi dibalik kekalahan itulah yang seharusnya. Kekalahan itu hanyalah sebatas tabir gelap yang harus kita singkap dengan tatapan mata hati yang bersih. Sebuah gerbang yang tidak bisa kita lewati melainkan dengan menunduk, menundukkan jiwa kita. Sebuah tangga yang hanya bisa dilalui dengan kesadaran sepenuhnya bahwa kita ini bukan apa-apa di hadapan Yang Maha Tinggi. Ia, sesungguhnya, tengah mengajarkan pada kita bahwa kuasanya begitu besar dan kita tidak akan pernah berdaya menghadapinya. Laksana tangan pemberi yang baru bisa dibuka dengan rintihan-rintihan di tengah hening malam sepi, dalam isak tangis derai air mata mengiba. Ketika itu kita lalui, akan sampailah kita pada cahaya yang jauh lebih agung dan jauh lebih sakral dari apa yang telah kita perjuangkan.
Karena sejatinya kekalahan itu bukanlah kekalahan kita. Itu adalah bentuk dari kemenangan lain dari sisi jiwa kita. Kekalahan fisik tapi kemenangan hati, kemenangan jiwa, dan kemenangan keimanan.
Karena sejatinya manusia belumlah ia menjadi manusia seutuhnya. Manakala belum pernah sampai kepadanya kekalahan yang menjadikan dirinya tersadar bahwa dirinya hanyalah satu makhluk yang lemah. Sehingga di dadanya adalah sebuah hati yang mampu mengalirkan kata-kata, “Ah…, ternyata kekalahan itu begitu enteng”.