Desir angin senja ini membuai anganku melayang mengarungi samudera khayal. Terbayang indah masa dua tahun lalu tatkala aku baru masuk SMA. Masa-masa itu kurasakan adalah masa-masa indah tanpa beban. Masa-masa kegembiraan tanpa masalah-masalah tentang hari esok. Sekarang, sinar matahari senja yang mulai redup ini seakan menambah berat beban pikiranku.
Kelas tiga SMA. Ujian semakin dekat. Beban belajar sungguh banyak. Belum lagi les tambahan dari sekolah setiap paginya. Juga les tambahan di lembaga bimbingan belajar seminggu tiga kali. Terasa mau pecah kepalaku. Aku tak mengira akan begini pusingnya menghadapi Ujian Nasional.
Tiap hari kedua ayah ibuku menekanku agar terus belajar. Waktu untuk bermain keluar pun dipotong habis. Setiap aku mau keluar selalu saja ditanya mau ke mana dan berapa lama. Dan kalau aku kelamaan bermain di luar rumah, saat pulang pasti aku disuguhi beraneka ragam omelan. Sungguh berat hidup ini kurasa. Persoalan di kelas pun seakan tak mau berdiam diri untuk membiarkanku tenang barang sejenak. Dari ribut kecil-kecilan dengan teman sekelas sampai saling mendiamkan selama beberapa hari membuatku ingin pergi saja dari sekolah ini. Ah, dunia sungguh menghimpitku. Aku merasa sesak.
Belajar lagi, belajar lagi. Semua orang menyuruh belajar. Tak bolehkah aku rehat sejenak untuk menenangkan pikiran tanpa diganggu rumus Matematika atau Fisika yang super sulit itu. Pusing rasanya aku memandang bertumpuk-tumpuk buku yang penuh tulisan dan angka-angka.
***
Senja masih menyapa kehidupanku yang suram. Buah rambutan yang memerah mengisi pekaranganku tak mampu menceriakan hatiku. Lima menit yang lalu kedua orang tuaku keluar rumah. Mau menghadiri walimahan katanya. ”Jangan lupa belajar!” begitu pesan ayahku. Ah, belajar lagi. Kini aku di rumah sendiri. Sepi. Tak ada sesuatu di rumah yang dapat aku kerjakan.
Dengan langkahku yang gontai aku menyusur jalan keluar dari pekarangan rumah. Niat hati hanya ingin jalan-jalan sejenak keliling desa. Selangkah demi selangkah, dan seisi desa pun seakan membisu menambah sepinya hariku. Di kejauhan aku melihat ramai orang-orang kerdil berlarian. Orang-orang itu seperti sekelompok kurcaci yang sedang bermain. Oh, ternyata mereka bukan orang kerdil, tetapi mereka memang anak-anak kecil di desa. Aku ingat, mereka sedang mengaji.
Melihat anak-anak kecil itu bermain membuat kakiku tanpa sadar melangkah ke arah mereka. Makin dekat makin kelihatan wajah anak-anak kecil yang innocent itu. Sungguh menyenangkan menjadi anak kecil, tiada dosa, tiada beban, tiada masalah.
”Hai, Wi! Mau ke mana?” tanya Zahra temanku.
”Cuma mau jalan-jalan kok,” jawabku dengan berusaha senyum.
”Wah, anak-anak yang TPA banyak ya!”
”Iya, Wi. Itu juga karena bantuan masnya yang dari IMTAQ itu,” kata Zahra sambil menunjuk sesosok remaja laki-laki yang sedang menulis di papan tulis di dalam masjid. Laki-laki itu sepertinya aku pernah melihatnya. Emm… tapi di mana ya? Wajah itu juga sepertinya aku sudah lama mengenalnya. Tapi, ah mungkin cuma pikiranku saja.
”Dia namanya Abdullah Azzam, Wi! Namanya bagus ya! Artinya hamba Allah yang mempunyai kemauan dan komitmen yang kuat. By the way, dia cakep juga ya. He…he…” kata Zahra pelan-pelan sambil nyengir.
“Kamu itu bisa-bisa cinlok lho. Ngajar TPA yang bener. Eh, IMTAQ itu apa?”
”Tenang aja, Wi! Mas Azzam itu orangnya cuek banget sama cewek. Nggak pernah dia mau melihat cewek. Dosa katanya, bukan mahram. Oya, IMTAQ itu organisasi kumpulan pengajar TPA. Aku mau masuk IMTAQ nanti kalau sudah kelas tiga, biar tambah pengalaman.”
Emm…masa sih ada cowok yang nggak mau melihat cewek. Tapi emang bener juga kata Zahra, si Azzam itu cakep juga. Apalagi dengan sikapnya yang cool itu. He…he… Huss…Tiwi, Tiwi, kamu nggak boleh mikir macem-macem.
”Eh, kenapa kamu nggak bantu kita ngajar TPA?! Asik lho ngajar TPA, bisa bikin kita bahagia terus soalnya ketawa terus kalau lihat tingkah anak-anak yang imut-imut dan lucu-lucu itu,” kata-kata Zahra membuyarkan lamunanku.
”Eh, iya, nanti kalau ada waktu,” jawabku sekenanya.
***
Senja berikutnya saat ada jadwal anak-anak TPA, kembali aku membawa tubuhku singgah di masjid.
”Hai, Tiwi! Kamu datang lagi ke sini,” sambut Zahra tatkala melihatku datang. Di samping Zahra berdiri laki-laki cool yang kemarin itu, si Azzam.
”Kebetulan. Ini aku kenalin. Dia Mas Abdullah Azzam. Mas, ini teman Zahra, namanya Tiwi.”
”Assalamu’alaikum,” kata laki-laki itu sambil menungkupkan kedua telapak tangannya di dada tanda tidak mau bersalaman. Ah, aku ingat, bukan mahram.
Suara Mas Azzam tampak berwibawa. Emm… terlihat dewasa dan senyumnya membuat wajahnya tampak ceria, tanpa beban. Cool, cakep…
Setelah mengenal Mas Azzam, aku menjadi sering pergi ke TPA. Bukan untuk mengajar, tetapi hanya untuk melihat anak-anak TPA yang bertingkah lucu, dan tentu saja juga untuk bertemu dengan Mas Azzam. Aku merasa kagum dengan sosok Mas Azzam. Dia selalu terlihat ceria, selalu bisa tersenyum dan tertawa lepas. Sedangkan aku…. ah….
Aku hanya sesekali waktu saja berbincang dengan Mas Azzam, tetapi setiap kata-kata yang diucapkannya membekas dalam ingatanku.
”Hidup ini kan cuma sebentar, Dik. Jadi kenapa kita harus menyusahkan diri sendiri dengan bersedih. Kita harus menikmati hidup ini. Belum tentu kan besok kita masih hidup. Maka dari itu, kesempatan yang ada ini kita gunakan sebaik-baiknya. Masak waktu yang singkat di dunia ini cuma kita habiskan dengan bersedih. Jadi, bersemangatlah, Dik. Buat diri Adik merasa enjoy dengan kehidupan ini.”
”Tapi, Mas, akhir-akhir ini mendekati ujian, aku selalu mendapat tekanan untuk terus belajar. Semua orang menyuruhku belajar sampai aku pusing, Mas.”
”Bersyukurlah, Dik, kalau Adik masih punya kesempatan untuk belajar dan sekolah. Coba Adik lihat anak-anak jalanan itu. Mereka tidak pernah disuruh belajar, karena memang tidak ada buku yang dipelajari. Mereka tidak disuruh sekolah, karena memang tidak ada biaya untuk sekolah. Adik punya buku banyak, Adik bisa sekolah, bukankah itu suatu nikmat yang mesti disyukuri. Kalau capek belajar, ya istirahat. Jangan dipaksa untuk belajar terus.”
Kata-kata Mas Azzam selalu bisa menenangkanku. Semakin kurenungi nasihatnya semakin tenang pikiranku dibuatnya. Dan seperti tak sadar, masalah-masalahku hilang satu per satu. Pikiran dan perasaanku semakin tertata dan aku merasa nyaman. Mas Azzam adalah malaikat penolongku.
Lama-kelamaan aku merasa malu bila berhadapan dengan Mas Azzam. Hal itu dikarenakan aku tidak memakai jilbab. Aku memang belum berani dan belum siap untuk memakai jilbab. Sikap Mas Azzam sendiri sepertinya tidak mempermasalahkan soal jilbab. Dan itu membuatku semakin kagum kepadanya. Aku ingin mengetahui bagaimana pendapat Mas Azzam tentang jilbab. Maka, suatu senja aku bertanya padanya.
”Mas Azzam, bagaimana pendapat Mas tentang wanita yang tidak memakai jilbab?” tanyaku pelan-pelan dengan jantung berdebar.
Sejenak Mas Azzam diam. Semakin berdebar jantungku. Sedetik rasanya sehari menunggu jawaban darinya.
”Dik Tiwi suka perhiasan nggak?”
Ha…?? Perhiasan? Kata-kata Mas Azzam mengagetkanku. Aku bertanya tentang jilbab kenapa dia malah bicara tentang perhiasan. Atau mungkin dia tidak suka menyinggung soal jilbab.
”Iya, Mas. Suka. Aku kira semua orang pasti suka dengan perhiasan.”
”Tentu saja. Semua orang suka perhiasan karena perhiasan sangat indah. Tahukah Dik Tiwi dari mana perhiasan itu berasal?”
”Hmm???”
”Emas,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh ke dalam perut bumi yang sulit terjamah.
Permata,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh di dalam tanah menutup diri bersama keindahannya.
Mutiara,
Di manakah kamu bisa mendapatkannya,
Jauh di dasar lautan terlindung kulit kerang yang keras.
Keindahan, selalu terlindung dan terjaga.”
Syair yang dilantunkan Mas Azzam membuat jantungku berdetak kencang. Aku yang selama ini tidak tertutup, tidak berjilbab berarti tidak pantas disebut sebagai emas, permata, atau mutiara. Aku bukanlah sebuah keindahan. Lalu apakah aku? Aku diam merenungi kata-kata Mas Azzam. Wajahku tertunduk tak mampu menatap orang yang baru bersyair dengan kata-kata indah namun tajam mengena itu.
”Lihatlah kerikil yang berserakan di jalanan,” Mas Azzam kembali bersyair.
”Adakah orang memperhatikannya,
Adakah orang memujanya,
Adakah orang melihat keindahan padanya.”
Aku semakin tertunduk mendengarnya. Inikah pandangan Mas Azzam kepadaku selama ini? Aku hanyalah sebutir kerikil yang tidak berharga dan harus disingkirkan? Dadaku terasa sesak. Mataku terasa perih. Butiran hangat aku rasai meleleh turun di pipiku.
”Dik Tiwi, hidup ini adalah pilihan. Apakah kita memilih hidup kita ini berharga atau sebaliknya. Kerikil pun akan bisa menjadi permata yang indah. Ingatlah, setiap wanita di dunia ini diciptakan sebagai permata yang indah. Aku akan sangat senang sekali jika Dik Tiwi bisa selalu menjadi permata yang indah yang selalu menghiasi kehidupan ini. Maaf kalau ada kata-kataku yang salah, Dik.”
***
Malam ini bintang di langit tak menampakkan dirinya. Rembulan pun malu-malu bersembunyi di balik awan menutupkan keindahannya. Jarum pendek jam tanganku menunjuk angka dua.
Setelah pertemuan terakhir dengan Mas Azzam dengan perbincangan tentang jilbab, aku tidak berangkat lagi pergi ke TPA. Aku malu dengan Mas Azzam dengan keadaan diriku. Diriku yang hanya sebutir kerikil yang tak berharga ini.
Selama ini, hanya sebutir kerikilkah aku ini? Ah, mungkin saja memang benar. Hanya sebutir kerikil. Selama ini aku selalu mencari-cari alasan untuk tidak memakai jilbab. Risih, panas, nggak bebas, dan alasan-alasan lainnya. Aku memang hanya sebutir kerikil yang tak berharga. Rasanya aku adalah makhluk rendah. Kata-kata Mas Azzam memang benar.
Dalam malam senyap ini, aku ratapi segenap dosaku. Aku ber-muhasabah untuk menjadikan diriku lebih baik. Terima kasih Mas Azzam, engkau telah membuatku tersadar dari tidur panjangku selama ini.
***
Langit barat kala senja ini indah menghias hatiku. Angin yang semilir bertiup mengantarkanku pada tempat yang sudah satu minggu ini aku tak menjamahnya. Masjid. Anak-anak TPA yang tetap terlihat innocent berlarian di teras masjid. Mereka masih menyuguhkan tawa riang tanpa beban. Begitu juga hatiku saat ini. Tanpa beban.
”Assalamu’alaikum,” aku mengucap salam kepada Zahra yang baru keluar dari masjid.
”Wa’alaikumsalam. Subhanallah, Tiwi kamu memakai jilbab. Wow, kamu terlihat cantik sekali dengan jilbab. Wajah kamu terlihat lebih terang dan kamu juga terlihat ceria.”
”Aku sekarang sadar, Ra. Mulai sekarang aku akan memakai jilbab. Aku ingin menjadi permata, seperti kata Mas Azzam.”
Mendengar nama Azzam aku sebut, raut wajah Zahra berubah menjadi muram.
”Kamu kenapa, Zahra?”
”Ah, nggak apa-apa. Syukurlah usaha Mas Azzam buat menyadarkan kamu berhasil.”
”Sekarang di mana Mas Azzam, Ra?” Zahra terdiam.
”Zahra?”
Kemudian dengan pelan Zahra berkata. ”Kemarin Mas Azzam berpamitan. Tugas Mas Azzam untuk menghidupkan TPA di masjid kita sudah selesai. Mas Azzam harus berpindah ke TPA lain untuk mengajar di sana. Aku tidak tahu Mas Azzam pindah ke mana. Mas Azzam bilang, mungkin kita akan lama tidak berjumpa dengannya. Mas Azzam juga berpesan kepadaku, dia minta maaf kepadamu jika ada kesalahan yang diperbuatnya.”
”Jadi, Mas Azzam tidak akan ke sini lagi?” tanyaku memastikan.
Zahra hanya tertunduk. Perih hatiku mengetahui kenyataan ini. Padahal aku ingin Mas Azzam melihatku memakai jilbab, sekali saja. Kini dia telah pergi. Ada gemuruh dalam dadaku. Ada sebening embun meleleh di pipiku.
Mas Azzam, meskipun kini engkau telah pergi, aku tetap akan menjaga jilbabku. Aku ingin selalu menjadi permata. Permata yang indah. Aku berharap Mas Azzam mengetahui diriku yang sekarang ini. Mas Azzam, aku berjanji akan selalu menjaga kesucian dan keindahan diriku ini dengan jilbab. Terima kasih Mas Azzam.