Laki-laki pemberani itu terbujur kaku dengan dada tercabik-cabik. Sadis. Itulah jasad Hamzah bin Abdul Muththalib, paman dan saudara sepersusuan Rasulullah Saw yang syahid dalam Perang Uhud. Tangis Rasulullah Saw pun pecah. Isak tangisnya terdengar seperti rintihan. Walaupun dengan kesedihan yang tiada terkatakan, akhirnya, jenazah "Tuan Para Syuhada" itu dikafankan dengan kafan yang tidak sampai menutup kedua kakinya, lalu dikuburkan bersama saudara sepupu dan sepersusuannya, Abdullah bin Jahsyi, dalam satu liang. "Tidak pernah beliau terlihat sedih sesedih itu. Tidak juga pernah terlihat beliau menangis sekeras itu," kata Ibnu Mas'ud. Panorama para syuhada itu memang sangat mengiris hati. Di sana terbaring 65 orang sahabat beliau dari kaum Anshar, 4 orang dari kaum Muhajirin, dan seorang dari kaum Yahudi yang telah memeluk Islam. Angka 70 orang syuhada itu terlalu banyak. Bandingkanlah dengan syuhada Badar yang hanya berjumlah 14 orang, atau dengan jumlah korban tewas dari kaum Musyrikin yang hanya berjumlah 37 orang.
Mungkin,
memang tidak tepat menyebut peristiwa itu sebagai kekalahan, setidak-tidaknya
jika dilihat dengan lensa keimanan. Akan tetapi, biarlah dalam hitungan
peperangan kita menganggap itu sebagai sebuah kekalahan. Itulah yang membuat
Rasulullah Saw begitu terpukul, begitu sedih, sampai beliau menangis
tersedu-sedu; sebuah tangis yang tidak pernah diulanginya sepanjang hidupnya.
Bahkan, beberapa hari sebelum beliau wafat, beliau menyempatkan diri
mengunjungi kuburan para syuhada Uhud. Para sahabat yang menyaksikan kesedihan
beliau itu merasakan kesedihan yang lebih mendalam, sekaligus diliputi perasaan
bersalah yang mengguncang batin mereka.
Kekalahan yang Mengilhami
Meskipun demikian, Allah Swt tidak
menginginkan mereka berlarut dalam kesedihan. Memang kesedihan adalah tabiat
hati dan hak jiwa, tetapi selalu ada batas yang wajar untuk sebuah emosi. Maka,
di tengah deraan kesedihan itulah Allah Swt menurunkan bimbingan-Nya. Itulah
salah satu cara Allah Swt memberikan pelajaran: peristiwa kehidupan adalah
momentum yang paling tepat untuk mengajarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
tertentu, dan bahwa sejumlah nilai atau kaidah tertentu hanya dapat dipahami
dengan baik melalui peristiwa nyata dalam kehidupan.
Maka,
berbicaralah Allah SWT tentang peperangan Uhud itu dalam 60 ayat, yang terdapat
dalam surah Ali 'Imran dan dimulai dari ayat 121 hingga ayat 179. Penjelasan
itu diawali dengan sebuah rekonstruksi yang menjelaskan latar belakang
psikohistoris Perang Uhud (ayat 121) dan diakhiri dengan sebuah komentar
penutup yang menggambarkan keseluruhan makna dan hikmah dari peristiwa tersebut
(ayat 179). Allah SWT mengatakan : "Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga
Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin). Dan Allah
sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan
tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman
dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar." (Ali 'Imran: 179)
Dalam
runtut penjelasan panjang itu, Allah Swt hendak mengajarkan kaum Muslimin cara
yang tepat untuk menghadapi dan menyikapi kekalahan. Bahwasanya, bencana yang
lebih besar dari kekalahan adalah apabila kita kehilangan kemampuan menentukan
sikap dalam menghadapi kekalahan itu sendiri.
Pelajaran
pertama. Untuk orang-orang kalah, mereka harus mempertahankan keseimbangan jiwa
manakala kekalahan itu datang. Kekalahan, dalam berbagai medan kehidupan,
sangat sering melumpuhkan, bahkan mematikan ketahanan jiwa dan semangat
perlawanan seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Itulah ancaman paling berbahaya
yang menimpa orang-orang yang kalah: tiba-tiba mereka kehilangan rasa percaya
diri, kehilangan semangat untuk tetap bertahan dan terus melawan, kehilangan
harapan dan optimisme; tiba-tiba saja dunia ini menjadi gelap dan kabut
keputusasaan menutupi seluruh langit jiwanya. Tidak ada lagi harapan bahwa esok
hari akan berganti dan matahari akan terbit kembali. Itulah saat yang paling
sublim dalam kehidupan individu atau kelompok, yang dalam hal ini kita harus
mampu mengelola perasaan dengan cara yang sangat rumit: kita harus mengakui
kekalahan secara obyektif namun tetap memiliki energi jiwa agar survive,
bertahan, dan bangkit kembali.
Untuk
itu, kita membutuhkan sebuah mizan: sebuah alat atau standar untuk mengukur
tingkat supremasi yang sesungguhnya. Mizan yang kemudian ditetapkan Allah Swt
adalah iman: bahwa kemenangan dan kekalahan bukanlah ukuran supremasi dan
keunggulan; bahwa kemenangan dan kekalahan hanyalah sebuah variabel yang
dengannya Allah Swt menguji kita tentang apakah kita tetap bisa beriman dalam
kedua situasi itu. Maka, jangan ada kesedihan yang berlebihan dan jangan ada
perasan lemah dan tidak berdaya yang akan mematikan semangat perlawanan. Allah
Swt berfirman :
"Janganlah kamu bersikap lemah,
dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (Ali 'Imran: 139)
Pelajaran
kedua. Untuk orang-orang kalah, mereka harus mengetahui kalau kemenangan dan
kekalahan itu sesungguhnya bukanlah situasi yang permanen (tetap). Kemenangan
dan kekalahan adalah piala yang dipergilirkan oleh sejarah di antara semua
umat. Maka, tidak ada umat yang dapat memenangkan semua babak pertarungan, juga
tidak ada umat yang ditakdirkan untuk kalah selama-lamanya.
Kemenangan
dan kekalahan, sesungguhnya hanyalah sebuah variabel yang menjalankan sebuah
fungsi: seleksi. Penyebabnya, andaikan kaum Muslimin menang terus, kata Ibnu
Qayyim, maka akan banyak orang yang bergabung dengan kaum Muslimin meskipun
mereka tidak benar-benar beriman. Ditambah lagi, andaikan kaum Muslimin kalah
terus, maka misi risalah kenabian tentulah tidak akan tercapai.
Begitulah
akhirnya, dalam putaran kemenangan dan kekalahan, Allah Swt menyeleksi
orang-orang beriman dari orang-orang munafik. Demikian pula dalam putaran
kemenangan dan kekalahan, Allah Swt menyingkap tabir pikiran dan jiwa setiap
orang: maka semua yang terekam dalam pikiran dan tersimpan dalam jiwa akan
tampak nyata di depan mata manakala peristiwa-peristiwa kehidupan memaksanya
keluar menjadi tindakan. Allah Swt berfirman :
"Jika
kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun
(pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan
kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan
orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai)
syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah
membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan
orang-orang yang kafir." (Ali 'Imran: 140-141)
Pelajaran
ketiga. Untuk orang-orang kalah, kemenangan dan kekalahan sesungguhnya
merupakan fenomena yang diatur oleh sebuah kaidah. Maka, setiap umat mempunyai
hak untuk menang jika mereka memenuhi syarat-syarat kemenangan. Setiap umat
pasti kalah jika sebab-sebab kekalahan itu ada dalam diri mereka. Kemenangan
dan kekalahan bukanlah nasib yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya. Maka,
hal penting bagi mereka yang kalah adalah menemukan penjelasan yang tepat
tentang mengapa mereka kalah, bukan melukiskan kekalahan itu secara dramatis,
romantis, dan melankolis. Untuk itulah, dibutuhkan keberanian untuk melihat ke
dalam lebih banyak, bukan menengok keluar dan melaknat musuh.
Oleh
karena itu pula dibutuhkan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan, kesediaan
dan tekad yang kuat untuk memperbaiki diri serta memenuhi syarat-syarat
kemenangan. Begitulah, Allah SWT kemudian menjadikan sejarah manusia sebagai
referensi yang dapat mempertemukan kita dengan syarat-syarat kemenangan atau
sebab-sebab kekalahan tersebut. Allah SWT berfirman : "(Al Qur'an) ini adalah
penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman." (Ali 'Imran: 138-139)
Jatuh Bangun dalam Ruang Sejarah
Melalui kasus mikro Perang Uhud itu,
Allah Swt menetapkan kaidah-kaidah makro yang kemudian mengatur jalannya
sejarah manusia. Peristiwa kemenangan dan kekalahan dalam sebuah peperangan
adalah sama dengan peristiwa kebangunan dan keruntuhan dalam perjalanan
sejarah. Dengan demikian, apabila ada kaidah yang mengatur kemenangan dan
kekalahan dalam sebuah peperangan, maka ada pula kaidah yang mengatur
kebangunan dan keruntuhan setiap umat dan bangsa. Ibarat sunah-sunah yang
menjelaskan mekanisme kerja alam raya, seperti itu pulalah kaidah-kaidah
tersebut mengatur jalannya sejarah manusia.
Kaidah-kaidah
itu adalah buah yang dapat kita petik dari pohon sejarah. Itulah sebabnya,
sejarah menjadi salah satu referensi pembelajaran terpenting dalam al-Qur'an.
Jika kita membuka lembaran ayat-ayat al-Qur'an, kita akan mengatakan dengan
penuh keyakinan bahwa sesungguhnya sejarah adalah tema pokok yang memenuhi
ruang terbanyak dalam al-Qur'an. Yang ingin diajarkan al-Qur'an di balik itu
adalah bahwa umat ini hanya akan bangkit mencapai kejayaannya apabila ia
mengikuti kaidah-kaidah kebangunan tersebut. Sebaliknya, umat ini selamanya
akan terpuruk dalam kehancuran manakala ia memenuhi semua kelayakan untuk jatuh
dan runtuh.
Demikianlah, bila kemudian kita membaca sejarah Baghdad sebelum dibumihanguskan oleh tentara Tartar, di bawah pimpinan Jenghis Khan, niscaya kita akan membenarkan ungkapan Ibnul Atsir, "Orang-orang Islam ketika itu hidup seperti orang-orang jahiliyah; mimpi-mimpi mereka tidak pernah melampaui perut dan kemaluan mereka." Sama halnya apabila kita membaca bagaimana Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan al-Aqsha yang dijajah Kaum Salib selama sembilan puluh tahun, niscaya kita akan membenarkan pendapat Dr Majid Irsan al-Kailani, yang mengatakan bahwa generasi Shalahuddin al-Ayyubi sebenarnya hanyalah hasil dari sebuah kerja dakwah dan tarbiyah (pembinaan) yang panjang, yang telah berlangsung lebih dari lima puluh tahun sebelum itu.
Demikianlah, bila kemudian kita membaca sejarah Baghdad sebelum dibumihanguskan oleh tentara Tartar, di bawah pimpinan Jenghis Khan, niscaya kita akan membenarkan ungkapan Ibnul Atsir, "Orang-orang Islam ketika itu hidup seperti orang-orang jahiliyah; mimpi-mimpi mereka tidak pernah melampaui perut dan kemaluan mereka." Sama halnya apabila kita membaca bagaimana Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan al-Aqsha yang dijajah Kaum Salib selama sembilan puluh tahun, niscaya kita akan membenarkan pendapat Dr Majid Irsan al-Kailani, yang mengatakan bahwa generasi Shalahuddin al-Ayyubi sebenarnya hanyalah hasil dari sebuah kerja dakwah dan tarbiyah (pembinaan) yang panjang, yang telah berlangsung lebih dari lima puluh tahun sebelum itu.
Inilah
Pertanyaannya Sekarang, gaung kebangkitan Islam telah menggema di seluruh
pelosok negeri, bahkan dunia: generasi baru Islam telah bangun mengumandangkan
azan subuh, dan fajar shadiq telah merekah di ufuk timur.
Namun,
sejarah tetap menyisakan satu pertanyaan sederhana yang pernah dilontarkan oleh
Imam Syahid Hasan al-Banna, "Saya percaya, saudaraku tercinta,
bahwa setiap revolusi sejarah dan setiap kebangkitan pada sebuah umat, berjalan
menurut hukum ini, bahkan termasuk kebangkitan agama-agama yang dipimpin para
nabi dan rasul-shalawat dan salam untuk mereka semua...." Inilah
ucapan yang akan disikapi oleh pembaca dengan dua sikap: sebagian mereka
mungkin telah mempelajari sejarah dan tahapan kebangkitan setiap umat sehingga
mereka percaya pada kaidah ini, sementara sebagian yang lain belum mempelajari
sejarah sehingga sebaiknya mereka mempelajarinya supaya mereka percaya bahwa apa
yang saya katakan adalah benar.
Mereka
harus percaya karena saya hanya menginginkan perbaikan dalam batas kemampuan
saya. Itulah yang terjadi pada setiap kebangkitan yang sukses. Sekarang, apakah
kebangkitan kita telah berjalan di atas rel hukum alam dan kaidah sosial ini?
sumber : Suara Hidayatullah (ust.Anis Matta)
sumber : Suara Hidayatullah (ust.Anis Matta)