Di Thaif, lelaki mulia itu terluka. Zaid bin Haritsah yang mendampinginya pun
ikut berdarah ketika berusaha memberikan perlindungan. Penduduk negeri itu
melemparinya dengan batu. Padahal, ajakannya adalah ajakan tauhid. Seruannya
adalah seruan untuk mengesakan Allah. "Agar Allah diesakan dan tidak disekutukan
dengan apapun." Namun, Bani Tsaqif malah memusuhinya. Pejabat negeri itu
menghasut khalayak ramai untuk menyambutnya dengan cercaan dan timpukan batu.
Meski diperlakukan sedemikian kasar, Rasulullah tetap pemaaf.
Kecintaannya kepada umat mengobati derita yang dialaminya. Beliau menolak
tawaran Jibril yang siap mengazab penduduk Thaif dengan himpitan gunung.
Sebaliknya, ia mendoakan kebaikan bagi kaum yang mencemoohnya itu, “Ya Allah,
berilah kaumku hidayah, sebab mereka belum tahu.”
Di Bukit Uhud, pribadi
pilihan itu kembali terluka. Wajah Rasulullah SAW terluka, gigi seri beliau
patah, serta topi pelindung beliau hancur. Fatimah Az-Zahra, putri beliau,
bersusah payah untuk menghentikan pendarahan tersebut. Dua pelindungnya
terakhir, Ali ra dan Thalhah ra juga terluka parah.
Bukit Uhud menjadi
saksi kekalahan pahit itu. Pasukan pemanah yang diperintahkan menjaga bukit,
dijangkiti gila dunia. Silaunya harta rampasan menggerogoti keikhlasan mereka.
Akibatnya, pasukan kaum muslimin porak-poranda dan Rasul pun terluka. Meski
kembali disakiti, cinta lelaki mulia itu tetap bergema, “Ya Tuhanku! Berilah
ampunan kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Thaif dan Uhud merupakan hari-hari terberat sang Nabi. Pengorbanannya
bagi umat tiada berbanding. Iltizam terhadap dakwah mewarnai hari-hari Rasul
akhir zaman itu. Kecemasannya pada nasib umat selalu mengemuka. Ia adalah Rasul
yang penuh cinta kepada umatnya. Cinta itu berbalas, generasi sahabat (generasi
pertama) adalah generasi yang juga sangat mencintainya. Cinta yang diperlihatkan
Zaid bin Haritsah di Thaif ketika menjadi tameng bagi rasulnya. Cinta yang
dibuktikan Abu Dujanah, Hamzah dan Mush'ab bin Umair di bukit Uhud. Tapi, adakah
generasi terkini masih mencintainya? Apakah umatnya sekarang tetap menyimak
sunnah yang diwariskannya?
Sejarah berbicara, semakin panjang umur
generasi umatnya, semakin menjauh pula generasi itu dari risalahnya. Umatnya
saat ini, cenderung mencemooh segelintir mukmin yang masih menghidupkan sunnah.
Buku-buku sunnah mulai terpinggirkan. Kitab Bukhari-Muslim harus bersaing dengan
textbook dan diktat yang lebih menjanjikan keahlian dan masa depan. Serial sirah
nabawiyah hampir menghilang dari tumpukan handbook dan ensiklopedia yang
biasanya menjadi asksesoris di ruang tamu keluarga muslim.
Aspek sunnah
dalam ber-penampilan dan berpakaian, ramai dikritisi dengan alasan tidak
praktis. Contoh dari Rasul dalam keseharian, pun semakin dihindari. Sunnah
dianggap simbol yang sifatnya tentatif, bukan sebagai panduan kehidupan (minhaaj
al-hayaah). Apatah lagi aspek syar'i. Begitu banyak argumen yang dihembuskan
sebagai 'pembenaran' untuk berkelit dan menghindari aspek syar'i dari sunnah.
Wabah 'ingkar sunnah' ini mulai terjangkit dalam komunitas yang mengaku sebagai
pengikutnya.
Keutamaan ber-shalawat kepada nabi pun nyaris terlupakan.
Padahal Rasul berjanji untuk menghadiahkan syafaat bagi umatnya. “Setiap nabi
memiliki doa yang selalu diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat
bagi umatku pada hari kiamat” (HR Muslim).
Jurang antara umat dengan
warisan risalah Nabinya ini tentu merugikan. Kecemerlangan pribadi Rasul nyaris
tak dikenali umatnya. Padahal, dalam pribadinya ada teladan yang sempurna.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab (33): 21).
Merujuk kepada
sunnah yang diwariskan Rasulullah adalah ungkapan kecintaan kepadanya. Cinta
pada Rasul yang lahir dari keimanan kepada Allah. “Katakanlah jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran
(3): 31).
Mencintai manusia mulia itu, berarti meneladani sirah
nabawiyah sebagai panduan dalam mengarungi kehidupan. Kecintaan yang akan
meluruskan langkah kita untuk ittibaa' (mengikuti) dan mewarisi komitmen untuk
menyampaikan risalah kepada masyarakat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
“Seorang hamba tidak beriman sebelum aku lebih dicintainya dari keluarganya,
hartanya dan semua orang.” (HR Muslim). (Omurazza-Delft, Rabiul Awwal, 1425 H)
sumber : eramuslim