Laman

Rabu, 30 November 2011

Harry Potter dan Muhammad Al Fatih



Antrian panjang muda-mudi pada loket-loket penjualan tiket hari pertama pemutaran film ”The Lord of the Rings” atau pada peluncuran buku ”Harry Potter” adalah pemandangan keseharian di negeri-negeri Barat. Fenomena yang sama terjadi juga di negeri kita, seperti yang baru-baru ini dimuat di berita photo detik.com. Mereka yang sebagian besar adalah muda-mudi, termasuk yang ”berjilbab”, ada dalam antrian panjang untuk membeli buku Harry Potter Jilid V yang harganya Rp. 140.000. Uang sejumlah itu bukanlah sedikit untuk masyarakat kita umumnya. Masih ingatkah kita kisah seorang anak SD yang mencoba mengakhiri hidupnya gara-gara malu karena tidak bisa membayar uang untuk kegiatan sekolah yang besarnya hanya Rp. 2500.

Harry Potter ... hampir semua remaja, bahkan dewasa, begitu mengenalnya. Bukunya laris manis bak kacang goreng. Film-filmnya sangat ditunggu-tunggu. Asesorisnya menjadi bahan koleksi para penggemarnya. Mereka hafal secara detil petualangan tokoh yang bernama Harry Potter ini. Bahkan pernah dilaporkan di majalah Time, kacamata model Harry Poter, sangat digandrungi oleh anak-anak dan remaja di Inggris, dan saya yakin juga di negara-negara lain, termasuk negara kita. Believe it or not, bahkan ada sebuah keluarga yang memberi nama anaknya yang baru lahir Harry Potter .... karena begitu kagumnya terhadap tohoh yang satu ini. Sedikit, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada, remaja kita yang tidak kenal dengan nama Harry Potter. Dan yang sedikit ini umumnya dikategorikan sebagai kuno, tidak gaul, dan ketinggalan zaman.

”...saya berkewajiban menemani dia membeli buku”,ujar seorang Profesor yang juga ketua salah satu komisi di DPR. Meski hanya fiksi, penulis buku Harry Potter sering menyisipkan falsafah hidup yang dapat membuat anak-anak lebih bijak, demikian alasan sang Profesor seperti yang ditulis di detikhot.com.

Kalau alasannya untuk mencari falsafah hidup, tidak cukupkah Islam sebagai minhaaj al-hayaah (pedoman hidup) memberikan itu semua? Bila kemudian alasannya agar bisa menjadi manusia yang lebih bijak dan berakhlak, lantas apa arti hadist Rasulullah SAW ”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang manusia”. Tidak cukupkah itu semua, sehingga kita mesti mengambilnya dari sumber-sumber lain, yang belum tentu sejalan dengan tuntunan Islam.

Muhammad Al-Fatih .... siapakah dia? Jika pertanyaan ini diajukan ke 1000 remaja muslim, mungkin hanya 1 diantaranya yang tahu jawabannya. Dialah pemuda muslim yang dalam usia 23 tahun berhasil memimpin pembebasan konstantinopel (sekarang bernama Istambul), yang merupakan pusat peradaban barat di abad pertengahan. Sang pemuda ini berhasil mengambil alih konstantinopel dari tangan kerajaan Bizantium yang merupakan kelanjutan dari Roman Empire dan telah menguasai Konstantinopel lebih dari 10 abad .

Remaja Muslim sekarang lebih kenal dengan tokoh Harry Potter, ketimbang tokoh Muhammad Al-Fatih. Mahasiswa-mahasiswa muslim di negeri ini lebih mengenal dan mengagumi sosok Einstein, Louis Pasteur dan Aristoteles ketimbang sosok Khwarizmi si-penemu sistem aljabar dalam dunia matematika, Ibn Sina (Avicenna) yang telah menulis buku ”The Canon” yang telah menjadi buku rujukan utama di dunia kedokteran Eropa selama lebih dari 5 abad dan Ibu Rushd (Averroes) yang fikiran-fikirannya telah mempengaruhi filsuf-filsuf terkenal Eropa seperti Roger Bacon , padahal ilmuawan-ilmuawan muslim ini sangat dikenal di dunia barat.

Begitulah nasib muslim di negeri ini yang terkadang lebih ’kebarat-baratan’ daripada orang-orang barat sendiri. Lihatlah buku-buku yang terpajang di rak dinding ruang tamu kita, berapa banyak dari buku-buku tersebut yang merupakan kitab tafsir, fiqh sunah dan buku-buku kisah para sahabat, lalu bandingkan dengan koleksi buku-buku semacam Harry Potter ... Bila tangan kita dengan mudahnya meraih lembaran-lembaran 50 atau 100 ribuan di dompet untuk membeli buku semacam Harry Potter, buku-buku komputer terbaru, buku-buku manajemen dan psikologi modern, sementara hanya lembaran uang ribuan atau bahkan koin recehan yang keluar dari saku kita guna membeli buku-buku Islam, menyumbang kegiatan keislaman, dan mengisi kotak amal di masjid-masjid. Waktu yang kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan keislaman pun biasanya waktu-waktu sisa, saat kita sudah letih dan tak mampu lagi berfikir jernih. Terlalu naif rasanya bila kemudian kita masih bertanya mengapa umat (Islam) ini menjadi umat yang terbelakang, umat sisa, umat yang menjadi bulan-bulanan umat-umat yang lain.


sumber : eramuslim