“Bagaimana dengan keluargamu?” tanyaku dengan penuh semangat seraya merapikan jilbab yang menari-nari diterpa angin pantai yang cukup kencang. Akan tetapi perempuan cantik yang ada di hadapanku terdiam dengan senyumnya. Ada gurat kelelahan di wajahnya, membuat senyumnya seolah dipaksakan. Entah itu apa maksudnya.
“Aku belum menikah, Ra…” jawabnya kelu yang membuat semangatku tadi berubah menjadi sorot pilu. Ternyata memang sudah sejauh itu dia menentukan langkahnya. Ah, teringat masa-masa kami bersama dulu. Masa-masa Mahasiswa yang penuh dengan semangat bergerak untuk perubahan. Penuh dengan pertarungan idealisme, namun juga dengan tawa persahabatan.
***
Dewi namanya. Sahabatku semenjak SMA. Kami berdua adalah anak Rohis di SMA. Namun ketika masuk dunia perkuliahan, jalan yang kami pilih berbeda. Sosoknya adalah seorang aktivis. Dia adalah seorang wanita yang memiliki semangat idealisme yang tinggi. Apa yang sudah dia pegang dan dia yakini, dia akan perjuangkan sampai mati. Hanya saja, mungkin menurutku semangat tingginya berada di jalan yang kurang tepat.
Aku ingat, saat itu isu penyetaraan gender tengah naik ke permukaan. Meskipun saat itu tengah banyak isu lain yang juga panas. Ah, entahlah. Negeri ini memang memiliki terlalu banyak hal yang “menarik” untuk diekspos. Terlebih oleh media. Dewi, adalah seorang mahasiswa yang meyakini bahwa feminisme adalah sebuah hal yang penting. Sebuah hal yang patut diperjuangkan. Dan RUU Penyetaraan Gender merupakan perspektif yang hadir atas pentingnya feminisme tersebut.
Maka aku ingat, ia sangat tegas dan aktif memperjuangkan RUU tersebut. Dia sering mengikuti kajian-kajian yang diadakan kaum feminis terkait pentingnya isu tersebut. Dia juga seringkali mengangkat isu-isu tersebut di obrolan sehari-hari dengan teman-temannya. Tulisan-tulisannya beberapa kali terbit di media nasional. Dan tak lain, yang dibicarakannya adalah tentang RUU tersebut.
“Gender itu berbeda dengan jenis kelamin, Ra…” ucapnya kepadaku dalam sebuah pertemuan makan siang. “Dia merupakan hasil dari konstruksi sosial, dan sebenarnya bisa berubah…” lanjutnya.
“Iya Wi… Aku juga tau… Tapi gender itu gak akan bisa dipisahkan dengan jenis kelamin… Islam kita mengajarkan……”
“Ah, bu ustadzah mah gitu… Dikit-dikit bawa agama…” ucapnya memotong jawabanku. Aku hanya tersenyum.
“Lebih dari agama, Wi… Islam kita adalah Ad-Diin… Kita harus paham itu…” ucapku seraya mencubit pipinya dan tersenyum.
Pandangan kami, bisa dibilang benar-benar berbeda. Tapi, itu tidak pernah melunturkan romantisme kami dalam bersahabat. Hal itu terjadi sampai isu tentang RUU tersebut naik ke permukaan. Di sini jelas, kami berada dalam barisan yang berbeda. Tidak hanya berbeda, tapi bertentangan. Aku naik ke permukaan sebagai sosok yang menolak RUU tersebut, sedangkan Dewi ada di garda terdepan kelompok yang mendukung –bahkan mendorong- RUU tersebut segera disahkan.
Aku tidak bisa mendukungnya kali ini. Ini sudah sampai pada sebuah peraturan tingkat Negara. Sulit bagiku untuk tidak menolaknya. Pertama kali membaca draft dari Undang-undang tersebut, dahiku langsung mengernyit. Kalimat-kalimat yang berada dalam undang-undang tersebut sangat tidak substansial menurutku.
Pertama, mereka mendefinisikan Gender sebagai sebuah konstruksi sosial budaya yang dapat ditukar. Pada kenyataannya, gender tidak dapat dipisahkan dengan jenis kelamin, meskipun keduanya adalah hal yang berbeda. Dan point yang membuatku bingung, bisa ditukar? Aku sendiri menerka-nerka apa maksudnya.
Lalu kesetaraan, mereka memaksudkan dengan kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki peran dan posisi yang sama di mata masyarakat. Dan keadilan adalah kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata masyarakat.
Aku teringat ucapan salah seorang dosenku. Sosok dosen perempuan yang benar-benar sekuler. Yang anti ketika ada pembahasan agama di dalam mata kuliahnya. Tapi komentarnya cukup menarik. “Saya bingung sebenarnya dengan kaum perempuan…” ucapnya seraya berdiri di tengah kelas. “Sudah bagus-bagus diberi tempat yang baik di mata masyarakat… Posisi yang dilindungi… Eh, sekarang mau ambil posisinya laki-laki…”
Dalam hematku, kenapa aku sangat tidak setuju dengan adanya RUU ini dan pemikiran feminisme pada umumnya, adalah bahwa pemikiran itu memiliki tujuan besar untuk memisahkan institusi pertama yang hadir di dunia: Keluarga. Ketika Nabi Adam AS dan Siti Hawa turun ke bumi, mereka hadir dengan perannya masing-masing dan saling melengkapi dalam payung keluarga. Adanya pemberontakan dari kaum Hawa, menurutku, akan membuat Adam dan Hawa terpisahkan.
Dan hal itu juga sebenarnya menurutku akan membuat para perempuan lain akan tersiksa. Pasalnya, di dalam RUU tersebut tertuliskan suatu posisi ketika peran dan posisinya sama, pula hak serta kewajiban yang sama. Adalah tidak benar kalau mereka berdalih, “Kewajiban ini hanya berlaku bagi yang mengambil hak-nya saja…”. Itu konyol, menurutku. Kita sama-sama mengetahui bahwa kewajiban dan hak itu berjalan seiringan. Kewajiban tidak bisa dihapuskan meskipun hak tidak diambil.
Kewajiban yang sama, artinya seorang perempuan dalam posisinya di keluarga memiliki kewajiban yang sama dengan suaminya. Tidakkah itu terlalu berat? Bahkan hal tersebut sebenarnya bisa menjadi pemicu retaknya keluarga. Bisa saja kemudian seorang suami menuntut istrinya karena tidak bisa menafkahi keluarga. Atau seorang istri menuntut suaminya karena tidak bisa mengurus anak-anak di rumah. Pemikiran tersebut sadar atau tidak sadar akan menanamkan pemahaman bahwa lebih baik tidak berkeluarga daripada muncul kesulitan-kesulitan seperti itu.
Dan akhirnya benar, Adam dan Hawa terpisahkan. Institusi keluarga menjadi suatu institusi yang dipandang tidak harus diwujudkan. Para perempuan lebih memilih berkarir dan mengejar dunia karena merasa memiliki hak yang sama dengan para laki-laki. Tapi mereka tidak menikah karena takut akan kewajiban yang juga sama dengan para laki-laki seandainya mereka menikah.
Semenjak isu itu naik ke permukaan, aku dan Dewi semakin berjauhan. Terlebih, saat itu aku memutuskan untuk menikah sehingga hari-hariku semakin disibukkan, atau bahasaku, dibahagiakan, dengan skripsi dan suami. Dewi? Dia lulus setengah tahun lebih cepat ketimbang aku. Komunikasi kami, perlahan menjauh meski masih rutin aku mengirimkan SMS-SMS Hikmah kepadanya.
***
Dan kini, sepuluh tahun setelah kelulusan itu, kami berjumpa. Undang-undang itu, aku yang memenangkannya. Undang-undang itu ditolak. Tapi pemikiran feminisme masih marak diperjuangkan. Mungkin salah satu pelakunya, Dewi.
“Cukup sudah Wi…” ucapku dengan mata berlinang air. Tanganku menggenggam erat tangannya.
“Tak perlu lagi kau korbankan akhiratmu untuk dunia yang semu ini… Wallahi, aku mencintaimu… Dan aku sungguh merindukan kita berada di jalan seperti dulu. Saling menguatkan untuk memperjuangkan syurga.” Ucapku dengan batin yang sangat merindukan sosoknya kala SMA.
“Entahlah Ra… Aku rasa, aku sudah kepalang basah di jalan ini…” jawabnya seraya menundukkan kepala.
“Aku yakin batinmu pasti merindukan keluarga… Seorang suami yang bisa engkau berkeluh kesah kepadanya… Anak-anak yang bisa engkau curahkan seluruh cintamu kepada mereka… Tempat istirahat yang paling nyaman ketika semua keletihan melanda… Aku yakin, kamu pasti merindukan itu…”
Air matanya semakin deras bermuara di dagunya yang lancip. Menetes perlahan membasahi kerudungnya.
“Inilah kita, Wi… Allah telah menciptakan kita dengan segala perasaan kita… Dan aku tahu pasti, perasaanmu tidak mengingkariNya…”
“Entahlah Ra… Aku tetap merasa aku harus memperjuangkan hak-hak perempuan…”
“Banyak hal yang masih bisa kita lakukan, Wi… Tidak perlu kita memperjuangkan hal-hal yang tidak substantif seperti itu… Kita bisa misalnya, memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan cuti hamil dan tetap mendapatkan gaji sebagaimana yang telah diterapkan di Negara-negara Eropa… Kita bisa misalnya, memperjuangkan kesadaran industri pertelevisian untuk tidak memproduksi hal-hal yang mendiskriminasi kaum perempuan… Tidak mengekspos perempuan secara berlebihan… Banyak hal yang lebih berguna bisa kita perjuangkan, Wi… Dan percayalah… Aku tengah memperjuangkannya juga…”
Dewi terdiam. Tercenung menunduk. Aku beralih memegang halus pipinya dan membuat wajahnya searah dengan wajahku. Kami bertatapan.
“Fitrah kita, bukanlah fitrah yang kecil… Pekerjaan membesarkan anak-anak, bukanlah hal sepele… Bukan urusan pembantu… Dapur, sumur, kasur, hanyalah suatu ejekan iri dari orang-orang luar… Konsep Islam telah sempurna, maka apalagi yang kita ragukan? Kesempurnaan kita tercapai, kebahagiaan kita, yakinlah, akan terpenuhi dengan pelengkap kita… Hawa tercipta, tertakdir untuk bersama Nabi Adam… Sebagaimana Nabi Adam-pun sangat membutuhkan Siti Hawa… Dan konsep itulah yang kemudian membuat kita semua umat manusia ada di sini hingga hari ini…” ucapku.
“Bayangkan jika konsep feminisme hadir dan menang ketika Nabi Adam dan Siti Hawa ada di Bumi, habis rasanya sejarah manusia… Berhenti sampai Adam dan Hawa saja…” lanjutku. Dia agak tersenyum geli, mungkin membayangkan.
“Wi….” Ucapku lembut. “Menikahlah…” lanjutku. Dewi menatap lembut mataku sebagaimana ketulusanku menatap matanya. Aku tersenyum. Kami kemudian saling merangkul, berpelukan. Di bawah senja Pantai Utara yang menjingga. Air matanya menetes deras di jilbabku. Hangat.