Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan
jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian
lain, secara linguistik riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Di sisi
lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke
berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa
dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan
panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab
mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai
pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata
ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’;
adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj:
5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti
satu dirham ditukar dengan dua dirham.
Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
(QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab
Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir,
(ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq,
(keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri
pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan
baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul
Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan
riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim
III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh
tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi
ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II:
37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang
riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh
enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur
Rabbani XV: 69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun
memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat
akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan
Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba
hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan
riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
- Riba Qardh
- Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
- Riba Jahiliyyah
- Hutang dibayar
lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
- Riba Fadhl
- Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
- Riba Nasi’ah
- Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan
nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis
gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama
dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai
dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no:
81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis
barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram
tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik
dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu
atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu
menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang
lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu
tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan
perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan
Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas
adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang
yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini,
sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar
adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri
IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586,
Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama
memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no:
3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat
rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua
sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw
maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu
sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum,
dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih:
Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080
secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis,
seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan
dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan
tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak
mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada
emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak
mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya
secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang
berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak
dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara
bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi
itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah
bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa
ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis,
baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya,
misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain
sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali
para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak
mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani
kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang
mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah
ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur
dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185,
Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik
‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih:
Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam
Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267,
Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena
kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual
kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah
itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.”
Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX:
211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348
no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara
keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga
dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi
komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual
emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu
dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis
barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu
jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah
membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada
emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua
belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau
bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no:
1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun
perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang
dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab
orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat
tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan
standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang
disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan
darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah
pasti haramnya.
3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja.
Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh
tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan
persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung
beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam
itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak
dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan
lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama
manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka
seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu
dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang
akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah
orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan
jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap
orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom)
dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap
miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas
pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati
dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara
anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi.