Dulu di tengah canda antara penghuni kos-kosan di gang Jengkol, Ceger, Pondok Aren, sambil mencuci atau ketika sedang setrika baju di pagi hari, kami, saya dan teman-teman satu kos sering bersaut tentang sosok perempuan, akhwat sang calon istri idaman kelak, bayangan sosok yang ideal tentunya, disela lirik nasyid:
Istri cerdik yang sholihatPenyejuk mataPenawar hatiPenajam fikiran
Di rumah dia istri dijalanan kawanDikala kita buntu dia penunjuk jalan
Saat itu, menurut kami seorang calon istri adalah, seorang perempuan, seorang akhwat yang ngerti agama, qonaah, tawadhu, tentunya seorang yang sempurna sebagai calon ibu, cantik (tentunya), sabar, romantis, bisa manjain suami (maunya), idealisme yang sempurna.
Setelah sang ustadz mendengar kriteria tersebut, dengan berseloroh dia berkata, “Akan saya upayakan akhi, tapi seandainya saya bertemu Akhwat yang kriterianya seperti itu, sepertinya tidak akan saya forward ke antum. Saya nikahin sendiri.”
Membangun asa adalah sah-sah saja, tidak dilarang. Hanya saja, jangan kaget setelah bertemu realita. Setelah menikah, menyatukan dua hati yang berbeda bukanlah hal mudah. Menginginkan sosok istri yang bisa menyelesaikan urusan rumah tangga dengan tuntas, menyadari kekurangan-kekurangan suami secara paripurna, dan menyelesaikan konflik dua hati tanpa menyisakan sedikit pun sakit hati pada salah satu fihak adalah harapan yang sedikit harus dikoreksi. Apalagi mengharap istri yang selalu siap, selalu berada disisi apabila dibutuhkan, dan selalu siap disamping suami dengan solusi-solusi atas masalah yang dimiliki suami.
Ketika kecewa, timbul pikiran iseng membandingkan istrinya dengan sosok lain, sifatnya, bahkan fisiknya. Maka bersiaplah untuk kecewa, karena apa? Karena kita memandang dari satu sisi bahwa dia ada untuk kita.
Bagaimana kalau dibalik? Kita ada untuk dia, bahwa kita tidak sesuai dengan harapan dia, bahwa kita tidak setampan yang dia inginkan, bahwa dia menekan asa ketika menerima kita, mencoba berdamai dengan kriteria calon suami yang diidamkan, kemudian menerima kita, semata mengharap ridho Allah.
Perlu diingat juga, istri kita memiliki latar belakang yang berbeda, budaya, status sosial, yang harus direkonsiliasi dengan kita, dengan latar belakang yang tidak sama, maka tidak akan pernah sinkron jika keduanya tak memiliki rasa ikhlas, bertahan pada ego sendiri. Tidak perlu heran jika akhirnya hanya konflik yang muncul dalam keluarga.
Secara sunatullah, masing-masing diantara kita juga tetap memiliki kebutuhan sendiri, sisi dunia sendiri, kegiatan sendiri, kesibukan sendiri, yang tidak melulu sibuk untuk berdua, kadang kita sebagai suami ”dipaksa” untuk bertenggang rasa dan bertenggang waktu. Disini nampaknya kita dituntut untuk meng ”kita untuk dia” kan.
Lalu harus kecewakah kita ketika sudah mendapat amanah istri tetapi jauh dari harapan ketika masih hidup di kos-kosan?
Hal terpenting adalah jangan lagi mengkhayalkan idealitas diatas realitas, berandai-andai yang tak sampai, dan mengeluh atas kenyataan yang ada, bisa sakit hati dilanjut sakit fisik. Yang mesti dilakukan adalah berpikirlah progresif, jangan regresif, bahwa Allah memberikan yang terbaik untuk kita.
Jadi teorinya semakin kita berandai-andai, semakin mengeluh dalam melihat perbedaan, semakin terluka hati ini. Selanjutnya, syukurilah, terima apa yang Allah berikan, kemudian carilah solusi atas masalah, carilah titik persamaan untuk meraih kebahagiaan. Singkirkan sederetan tuntutan yang ‘segambreng’ kepada istri kita. Semakin banyak tuntutan, bila tak terpenuhi akan membuat tingkat kekecewaan semakin tinggi.
Percayalah pada janji Allah, bahwa Istri yang baik adalah untuk suami yang baik pula, bukankah kita termasuk mukmin yang baik? Insya Allah.
Sekarang, seiring berjalannya waktu, akhirnya saya menyadari, ternyata dulu saya, kami, telah melupakan satu hal, yaitu bahwa seorang calon istri, seorang perempuan, seorang akhwat, adalah juga manusia, bukan malaikat, yang tentu saja memiliki sifat manusia seperti pada umumnya.
Wallahu’alam
sumber :http://www.fimadani.com/