Laman

Kamis, 26 Januari 2012

Beginikah Cinta..?


 Aku berlari dengan nafas memburu. Otakku seakan berhenti berpikir, dada sesak, penuh, semua sesal dan sedih berkecamuk jadi satu. Kususuri jalanan kampus yang masih sedikit basah karena hujan kemarin malam. Aku benar-benar kalut. Bingung. Pikiranku mulai bergumam sendiri dengan batinku.
“Beginikah jadinya? Beginikah rasanya mengakhirkan harapan?
Beginikah rasanya menghentikan cinta yang sudah terlanjur dalam?
Aku harus berkata apa? Bertanya pada siapa?”
Jalanan ini tentu saja takkan memberi jawab. Sore menuju senja yang selalu indah ini tentu saja takkan menenangkanku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain kekalutan yang luar biasa menghinggapi dada.

“Haruskah melepasmu cinta? Melepas segala rasa yang tumbuh subur merekah hingga kini dan entah kapan berakhirnya?
Haruskah ku bunga jauh-jauh penggal harap yang entah kenapa masih membuatku sesak ketika kutahu aku tak bisa memilikimu cinta?
Haruskah aku membalikkan semua waktu agar perasaan ini tidak pernah ada di dalam diri? Atau setidaknya…
Ahh… Allah… mungkinkah kau izinkan aku mengembalikan kekosongan jiwa agar yang terisi hanya KAMU? Hanya KAMU ya Rabb… Hanya KAMU… hanya KAMU yang kucinta. Mungkinkah ya Rabb?”
Dadaku semakin sesak. Air mata lagi-lagi dengan tak sopannya keluar tanpa pernah mau kuperintahkan. Aku laki-laki, dan kini aku menangis.
“Aku benci dengan perasaan ini. Benci dengan keadaan ini.
Aku sadar aku harus bangkit. Tak boleh lemah hanya karena kehilangan kesempatan merealisasikan harapku. 
Aku tak boleh kalah, hanya karena imaji yang sedari dulu kubangun akhirnya pergi dan menghilang tanpa bekas. Aku benci dengan semua perasaan yang telah porak-poranda ini. Aku harus bangkit. Tak boleh seperti ini.”
Kukuat-kuatkan hatiku agar tetap seperti dulu. Tenang dan segar. Namun percuma. Setiap larian kecilku mengelilingi kampus hijau ini, membuatku semakin tergugu. Pikiranku tak bisa untuk kuhentikan dalam mengingat sang permata jiwa. Semua kenangan seperti tergambar jelas di benakku. Kenangan tentangnya semua menyeruak tanpa tahu betapa aku sakit ketika mulai mengingatnya.
Cinta… atau entah apa namanya. Kenapa begitu mempengaruhiku hingga semua alam rasionalku pergi entah kenapa. Maryam Syakila, sosok itu. Yang mengisi penggal harapku hingga detik ini terus saja berkeliling di alam pikirku.
“Sedalam inikah perasaanku? Separah inikah aku tenggelam dalam cinta yang semu?
Jika memilikimu bukanlah takdirku, maka tolong berilah aku kesempatan untuk pergi darimu. Sejenak melupakan apapun tentangmu.
Aku ingin amnesia sejenak, tak pernah mengenal siapapun terutama kamu dari hidupku. Ini terlalu menghempaskan. Merebut semua rasaku.
Aku mati, mati rasa.
Dalam kekakuan, kebekuan, namamu masih saja ada. Harus ku kata apa, jika memang segalanya begitu dalam terasa? Harus kubilang apa cinta?”
Aku membodoh-bodohkan diriku sendiri setelah melewati lebih dari 3 kilometer. Berlari tanpa arah. Pikiranku tertuju kembali mengenang kisah usaha untuk melamar Maryam Syakila selama 2 pekan ini.
“Mohon maaf, apakah Zahra bisa membantuku mencari tahu perihal Maryam Syakila? Bukankah dia sahabatmu sejak SMA?” Sapaku kepada Zahra, sahabat dekat Maryam semenjak SMA. Setahuku mereka memang masih dekat hingga sama-sama melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia (UI). Kukirim email singkat ini kepadanya.
Jangan Tanya degupan jantungku saat itu. Aku begitu tegang tak terkira. Ini adalah momen yang sudah kutunggu sejak lama. Sudah 9 tahun, aku mengagumi sosok bernama Maryam Syakila. Dia sederhana, tak banyak bicara, namun cerdas dan mempesona. Apalagi yang mau kukata jika dia telah menjadi yang pertama dalam perasaanku, dan entah kapan lagi aku bisa mengakhirkan segala rasa ini. Perasaanku semakin dibuat tak karuan ketika mengetahui keshalihannya. Semenjak SMA, baju seragamnya yang panjang ditutupi dengan jilbab yang terurai indah sampai ke dadanya membuat jantungku semakin berdetak kencang setiap kali bertemu dengannya. Aku harus berkata apa, jika cinta telah merenggut habis semua perasaanku? Aku hendak menghentikan segalanya, namun segala tentangnya telah merebut habis setiap sisi hatiku. Aku juga hendak menghentikan segala pengaruh tentangnya, tapi apa lagi yang mampu ku buat, ketika penantian hamper 10 tahun ini, akhirnya datang juga. Ini kesempatan terbaikku untuk merealisasikan imaji, harap, dan doa yang sudah kusimpan erat sejak dulu. Aku harus melamarnya dan menjadikannya istimewa dalam nyata. Itu saja. Tak ada yang lain yang aku siapkan dan pikirkan selain merealisasikan segala rencana untuk menikah dengannya.
“Oh ya… Alhamdulillah saya masih sering berkomunikasi dengannya. Ada apa ya?” Zahra membalas emailku melalui YM yang kuhidupkan sejak tadi.
“Hmmm… Saya hendak menjalankan salah satu sunnah Rasul. Saya ingin tahu apakah Maryam Syakila sedang proses Ta’aruf atau telah di khitbah oleh seseorang? Jika tidak, saya ingin melamarnya…” Jawabku tanpa pikir panjang. Buatku ini melegakan.
“Oalah…  Jawab Zahra sedikit kaget.
“ :) ” Aku membalasnya dengan icon tersenyum, memahami kekagetannya.
“Baiklah Rangga. Tunggu aja ya kabarnya dalam 1-2 hari ini. Insya Allah akan saya beritahukan informasinya…” Tutup Zahra
Sudah 2 pekan ini, malam-malamku adalah malam-malam penghambaan penuh khusyu kepada Allah. Aku mengirimkan doa terindah kepada-Nya, berharap DIA berkenan mempertemukanku dengan Maryam. Berharap segala daya dan usaha yang kulakukan hingga saat ini diberkahi dengan sebuah momen terindah yang telah kupatrikan dalam do’a-do’aku selama 9 tahun ini. Aku hanya berharap memilikinya, itu saja.
Esoknya, aku menerima sms singkat dari Zahra yang memberitahukan info lengkap soal Maryam ada di inbox emailku.
Aku buru-buru membuka emailku berharap ada berita yang melapangkan jiwaku. Namun betapa kagetnya, ternyata isi email yang dikirimkan Zahra kepadaku sungguh berbeda dengan yang kukira.
“Mohon maaf Rangga… Saya sudah mengecek kondisi Maryam, terkait kesempatanmu untuk melamarnya. Saat ini, dia sudah di khitbah oleh seorang ikhwan dan Insya Allah akan melangsungkan akad dan walimahannya bulan Desember tahun ini…”
Hilang sudah… Pecah… Semua harapan itu sirna. Aku terlambat, sangat terlambat. Tubuhku bergetar seketika, hatiku tak bisa berkata apa-apa selain merasai kekalutan yang luar biasa. Aku terdiam, dan tak sadar, air mataku dengan sendirinya mengalir.
Habis sudah… kering… tak ada lagi harapan yang ku bangun bertahun-tahun. Aku memang lambat, aku memang bodoh, aku memang kerdil. Kenapa sedari dulu aku tidak memulai duluan untuk melamarnya? Kenapa dari dulu aku tidak berani merealisasikan segala macam perasaan ini agar mampu bersama dengannya? Kenapa?
Beribu pertanyaan berkecamuk di dada. Lebih dari itu, aku menyesal, begitu menyesal. Kenapa aku begitu terlambat membuat keinginan yang kubangun sejak 9 tahun ini menjadi nyata. Kenapa?
Aku membodoh-bodohi diriku sendiri karena terlalu lama dalam beraksi. Jika aku cinta, harusnya aku lebih berani dari siapapun. Jika aku cinta, harusnya aku tak menunggu lama. Dan jika ini gagal, harusnya aku tak sesedih ini, aku tak sehancur ini. Tapi kenapa?
Perasaan yang tak karu-karuan itu aku larikan hingga sore ini. Jalanan di sekitar kampus masih kususuri sembari mengingat kegagalan melamar Maryam Syakila.
“Andai pesonamu hanya sesederhana bunga jalanan…
Maka mungkin sedari dulu telah kulupa…
Tapi pesonamu adalah pesona edelweiss yang sulit tuk kugapai dan kupetik tangkainya.
Pesonamu adalah pesona menggetarkan yang terpancar dari kecintaanmu pada Allah bersama orang-orang yang mencintai-Nya.
Jika sebegitu kuat pesonamu menarikku, apa lagi yang harus kukata jika memang padamu, segala cinta ini telah terenggut?”
Aku menangis lagi, mengingat puisi sederhana itu kutulis beberapa saat setelah menerima email dari Zahra. Sungguh ini begitu berat terasa. Aku sungguh idiot, sungguh tolol, bagaimana bisa aku mengingatnya dalam ingatannya yang begitu sulit untuk kulupa.
“Jika GAGAL, maka lupakan…
Teringat nasihat dari seorang sahabatku. Aku harusnya mampu melupakannya. Melupakan Maryam Syakila dalam setiap sisi hatiku.
Lagi-lagi kukuatkan diriku agar mampu melewatinya. Keringatku mulai bercucuran ketika mendekati gedung Fakultas Teknik, menuju labku. “aku harus tenang… Sabar…” Kucoba menguatkan hatiku walau pikiranku masih kalut.
***
Sejak ba’da Isya tadi, aku sudah rebahan. Sepertinya tubuhku lelah karena menangis. Sebeginikah parahkah? Aku bahkan tak mampu memikirkan sebelumnya kalau efeknya akan begitu hebatnya. Mataku baru terpejam beberapa jam kemudian.
Samar-samar aku terbangun, di kamar kos-kosanku yang sederhana. Lampu masih kumatikan semenjak istirahat tadi, gelap di sekeliling ruangan. Kuhidupkan handphone-ku melihat jika ada pesan penting yang masuk sekalian melirik jam berapa sekarang. Sudah 04.00 dini hari rupanya. Aku tertidur cukup lama.
Kubuka selimut yang menghangatkan tidurku sejak semalam, kemudian menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Apalagi kini yang tersisa, selain Allah sebagai zat terbaik untuk mengadu?
4 raka’at awal kulewati dengan luruh air mata yang tak terbendung.
“Allah…
Beginikah jadinya jika aku berani bermain hati? Beginikah jadinya jika aku menyisihkan cinta-Mu yang agung dan begitu purna? Beginikah akibatnya?
Ampuni aku, dalam khilafku akibat salah di masa lalu. Beri aku waktu untuk menyembuhkan segala kotoran di hati ini agar yang ada hanya KAMU ya Rabb…”
Doa it uterus ku ulang-ulang.
Memasuki Rakaat ke-6 Tahajjudku. Air mataku semakin tak tertahankan.
“Apa lagi Rangga… Apa lagi yang mau kau katakan kepada Allah? Bentuk protes apa lagi yang hendak kau kirimkan kepada-Nya jika Allah telah memberi segalanya. Allah telah memudahkan studi S1-mu, meski tanpa biaya orang tua, Allah memudahkan jalanmu untuk meraih prestasi membanggakan selama studimu. Allah mudahkan hidupmu dengan pertemuan bersama orang-orang shalih yang menenangkan dan penuh nasihat, Allah mencelupkanmu dalam balutan kasih saying-Nya untuk senantiasa mengingat-Nya, Allah memberimu nikmat yang tak terhitung jumlahnya.
Lalu kini? Jika hanya seorang Maryam Syakila yang tak bisa kau miliki. Haruskah kau hentikan rasa syukurmu? Haruskah kau habiskan harimu dengan sederetan pelarian dari jalan Allah sebagai bentuk betapa kecewanya dirimu kepada Allah? Haruskah Rangga? Haruskah… Sedang mencintai Allah itu membahagiakan… Memiliki Allah itu adalah kenikmatan yang tiada duanya.
Makhluk-Nya? Mengharap mereka adalah sebuah kebodohan, mencintai mereka dengan penuh seluruh adalah kejahiliyahan. Apa lagi Rangga? Apalagi yang tersisa selain ini adalah akibat dari kesalahanmu memelihara rasa. Jika berani, seharusnya sedari dulu kamu mulai berusaha untuk memilikinya dalam balutan ikatan suci yang indah. Tapi jika tak sanggup, seharusnya kamu TEGAS dengan hatimu. TEGAS dengan rasamu. Jika ia bukan untuk cinta yang halal, maka takkan kurasakan. Seharusnya begitu Rangga… seharusnya begitu”
Aku semakin tergugu hingga di akhir witirku. Tubuhku bergetar hebat. Rasa malu begitu terasa di dalam jiwaku. Sungguh betapa hinanya aku menangisi seorang Maryam Syakila hanya karena sebuah penolakan dan keadaan yang sebenarnya begitu sederhana saja. Tidak seharusnya aku larut dalam kesedihan yang sebagian besar karena ulahku. Kenapa aku sebegini terlukanya, sedang Allah telah menyediakan begitu banyak hikmah dan nikmat yang ada di tiap lembar hariku. Kenapa aku se sedih ini sedang Allah telah banyak memberiku kesempatan untuk melejit, melangkah, dan berbuat banyak hal untuk dunia. Ahh… aku kalah, kalah dengan godaan syetan yang memabukkan rasa di dalam dada.
Kukuatkan diriku ketika muhasabahku terhenti dengan lantunan azan subuh di Masjid dekat kos-kosanku.
“Aku harus memulai hariku yang baru… Penuh semangat… Penuh Antusias… Aku harus menghapus semua kenangan tentang Maryam… sekecil apapun aku harus menghapusnya…” Sahutku.
Subuh itu. Adalah subuh penghambaan penuh kekhusyuan yang pernah kurasa dalam hidupku.
“Allah… Jika dia memang bukan yang terbaik bagiku… Maka gantikanlah yang lebih darinya… Shalihkan diriku hingga aku mampu memiliki seorang permata jiwa yang juga seshalih diriku. Sempurnakan agamaku dengan seseorang yang akan kucintai sepenuh jiwaku Dan akan kujadikan ia sebagai belahan hati terindah di dunia. Namun jagalah agar hati ini selalu ada KAMU ya Rabb… hanya ada KAMU… bukan yang lain…”
Kuseka air mataku yang masih mengalir di ujung doa ku subuh ini. Mencoba menguati hati agar mampu melangkah.
“Jika tak hari ini, maka aku akan kalah selamanya…”