Suatu hari, ia datang dengan muka marah, dada sempit, seakan isinya terpenuhi oleh bara api dan ia hendak menyemburkannya keluar sekaligus.
Aku katakan kepadanya: “Insya Allah Antum baik-baik saja!”
Ia menjawab: “Kalau saja aku tidak pernah menikah!!! Niscaya hari ini hatiku tenang, jiwaku tenteram dan pikiranku santai … !!!”
“Apa yang membuat pernikahanmu menyusahkanmu?” tanyaku kepadanya pura-pura tidak tahu.
“Siapa lagi kalau bukan si dia, perempuan itu!!!” jawabnya masih dengan nada marah.
“Engkau maksudkan istrimu??!!” komentarku asal-asalan saja.
“Betul sekali” sergahnya.
“Apa lagi yang engkau keluhkan darinya??” komentarku mencoba menyabarkannya.
“Boooanyaaak lah!!!” tanggapannya.
Ia angguk-anggukkan kepalanya berkali-kali tanda setuju terhadap pernyataanku yang terakhir.
“Barangkali engkau mengeluhkan tentang ketidaktundukannya kepadamu?” pancingku kepadanya.
Ia menatapku dengan cepat dan memandangiku secara mendalam: “tepat sekali” katanya.
“Air matanya langsung bercucuran saat engkau mendebat atau membantahnya??” pancingku lebih lanjut.
Tampak kekagetan pada raut mukanya seraya berkata: “betul, betul sekali” komentarnya setelah itu.
“Ia juga sering membangkang??” selidikku lebih jauh.
Semakin tampak jelas kekagetannya pada bahasa tubuhnya, seraya berkata: “Seakan-akan kamu hidup bersama kami!!!”.
“Perhatiannya kepadamu semakin menurun dan berkurang setelah masa pernikahan berlalu beberapa bulan??” selidikku kayak petugas KPK saja.
“Kamu telah mendengar cerita tentang istriku dari orang lain ya??” pertanyaannya untuk menyembunyikan keheranan dan kekagetannya lebih lanjut.
“Perhatiannya kepadamu semakin parah setelah kalian mempunyai anak??” selidikku lebih lanjut tanpa mempedulikan pertanyaan dia sebelumnya.
“Jadi kamu telah mengetahui segalanya tentang istriku ya??!!!” komentarnya keheranan.
“Tenang dan santai saja saudaraku … dan mari dengarkan penjelasanku!!” pintaku kepadanya.
Tampak rasa marah dan nyeseknya berkurang, dan mulai tergantikan oleh rasa ingin tahu dan karenanya tampak jelas keinginannya untuk menjadi pendengar yang baik. Ia pun berkata: “Silakan berbicara, saya siap menjadi pendengar”.
“Pernahkah engkau membeli alat elektronik? HP, Notebook, dan semacamnya? Dan adakah disertakan bersamanya buku manual penggunaannya?”
“Pernah” jawabnya.
“Bagaimana Antum mempergunakan alat itu? Mestikah sesuai dengan buku manual penggunaannya?”
“Pastilah” jawabnya.
“Bagus, anggaplah Antum baru saja membeli alat elektronik itu, di situ dijelaskan bahwa catu listriknya adalah 110 volt, namun, Antum paksakan dia untuk dicolokkan ke kontak listrik dengan kekuatan 220 volt, apa kira-kira yang akan terjadi??” penjelasanku memberi kuliah teknik elektro.
“Pastilah langsung terbakar” jawabnya singkat.
“Misalnya lagi engkau ditantang untuk balapan motor, motormu 125 cc dengan tulisan di speedometer maksimal 140 km berjam, sedangkan temanmu membawa motor 250 cc dengan tulisan maksimal 260 km berjam pada speedometernya” ceramahku di hadapannya.
“Dijamin kalah lah aku” sergahnya.
“Seandainya Antum memacu gas motor Antum sehingga mentok, akankah motor bisa melaju melebihi angka 140 km berjam??”
“Ya nggak bisa tentunya” jawabnya.
“Kenapa?” tanyaku kepadanya.
“Ya karena dari sononya (pabriknya) memang tidak dimungkinkan untuk melaju di atas 140 km berjam” jawabnya dengan tegas dan lugas.
“Demikianlah ‘pabrikan’-nya perempuan, oleh Allah SWT telah menciptakannya dengan ‘manual’ tertentu yang kita harus ‘menggunakannya’ sesuai dengan ‘manual’ itu” penjelasanku filosofis.
“Maksudmu?” tanyanya.
“Tabiat psikologis perempuan yang engkau keluhkan di awal pembicaraan kita tadi, itulah ‘pabrikan’ perempuan dari sang Penciptanya, kalau saja engkau pahami ‘manual’-nya dengan baik, niscaya engkau tidak akan menuntutnya layaknya dia laki-laki macam kita ini”.
“Manual yang mana yang engkau maksud” tanyanya tampak kebingungan, sebab aku mulai bergaya seorang filosof.
“Bukankah Rasulullah SAW, utusan sang Pencipta telah menjelaskan tentang sebagian dari ‘manual’ itu saat bersabda:
” استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع أعوج وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه فإذا ذهبت تقيمُه كسرت ، وإذا تركته لم يزل أعوج ، فاستوصوا بالنساء خيرا ”
Aku wasiatkan kepada kalian agar berbaik-baik kepada kaum perempuan, sebab ia diciptakan dari tulang iga, sedangkan tulang iga yang paling bengkok adalah yang paling atas, oleh karena itu, jika kalian bermaksud membuatnya lurus dan tidak bengkok, niscaya patah lah ia, dan jika engkau membiarkannya begitu saja, niscaya ia akan terus menerus bengkok dan tidak pernah menjadi lurus, oleh karena itu, aku wasiatkan kepada kalian agar berbaik-baik kepada perempuan. (Hadits shahih muttafaqun ‘alaih)
“Bener juga ya!” serunya.
“Jadi, apa yang engkau inginkan dan minta dari istrimu itu mirip dengan engkau meminta motormu untuk melaju dengan kecepatan di atas 140 km berjam, sehingga, walau pun gasnya sudah kamu tarik sekuat-kuatnya, ya tetap saja maksimal motormu melaju pada kecepatan 140 km berjam” kuliahku kepadanya selanjutnya.
“Oooo” gumamnya dan sepertinya dia mulai mengerti isyarat yang saya maksud.
“Dan mari kita dalami lebih lanjut sabda Rasulullah SAW di atas” pintaku kepadanya.
“Dalam hadits tadi Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jika tulang iga yang bengkok itu kita paksakan harus lurus, maka patahlah dia, hal ini mirip dengan alat elektronik 110 volt kita colokkan pada listrik dengan kekuatan 220 volt, kebakarlah dia” demikian bunyi lanjutan wejanganku kepadanya.
Ia berkata: “Tetapi, bukankah penjelasanmu ini mengindikasikan pengecilan dan pengurangan kadar perempuan??!!!”
“Kekurangan di satu sisi dan kelebihan di sisi lain” jawabku singkat.
“Sama dengan lelaki, ia mempunyai kekurangan di satu sisi dan mempunyai kelebihan di sisi yang lainnya” lanjutku menerangkan.
“Menariknya, apa yang kurang pada perempuan itu berbanding lurus dengan kelebihan pada lelaki dan apa yang lebih pada perempuan berbanding lurus dengan kekurangan pada lelaki” aku melanjutkan kuliah “filsafat”-ku kepadanya.
“Mohon maaf, terlalu filosofis penjelasanmu, tolong beri aku ulasan yang mudah” pintanya kepadaku.
“Dalam hadits Rasulullah SAW tadi disinggung tentang sesuatu yang ‘bengkok’ atau tidak tegak lurus. Betul tidak?!” tanyaku meminta penegasan dari dia.
“Tidakkah saat menyusui, posisi seorang ibu dalam keadaan ‘bengkok’ dan tidak tegak lurus?! Begitu pula saat ia mengenakan pakaian pada anaknya, tidakkah ia dalam posisi ‘bengkok’ dan tidak tegak lurus?!! Dan tidakkah saat ia mendekap anaknya, seorang ibu dalam keadaan ‘bengkok’ dan tidak tegak lurus?!!” demikian retorikaku kepadanya.
“Betul, betul sekali, saya tidak melihat seorang perempuan yang melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti tadi kecuali dalam keadaan ‘bengkok’ dan tidak tegak lurus” jawabnya meng-iya-kan.
“Coba kamu renungkan, tidak ada satu pun kondisi atau posisi seorang ibu saat mengekspresikan rasa rindunya, atau kasih sayangnya, atau belas kasihnya, atau cintanya kepada anaknya kecuali ia dalam keadaan ‘bengkok’ dan tidak tegak lurus!!” pernyataanku mendikte.
“Menariknya lagi, semua kosa kata yang menggambarkan demikian, dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai Rasulullah SAW, semua mempunyai hubungan erat dengan kata ‘bengkok’”.
“Misalnya kata ‘athifah yang berarti simpati, empati, emosi dan kasih sayang. Ia mempunyai hubungan erat dengan makna bengkok, bukankah jalanan yang menikung dalam bahasa Arab disebut thariqun mun’athifun???!!
Dan bukankah kecenderungan atau ketertarikan seseorang kepada sesuatu dalam bahasa Arab disebut mail, sebagaimana firman Allah SWT: fala tamilu kullal mail fatadzaruha kal-mu’allaqah (Q.S. An-Nisa’: 129), dan bukankah mail dalam bahasa Arab artinya adalah miring atau condong, atau bengkok??!!
Dan masih ada beberapa kosa kata lagi yang mempunyai makna bengkok dan sekaligus mempunyai makna sayang atau simpati atau empati dan semacamnya.
Inilah kelebihan perempuan, dengan ‘bengkok’ inilah ia mampu mengekspresikan berbagai rasa sayang, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh lelaki secara sempurna”.
(Dialog antara DR. Muhammad Rasyid Al-‘Uwaid dengan salah seorang lelaki yang mengeluhkan tentang istrinya).
Sumber: http://www.dakwatuna.com/