Menangis punya banyak makna. Ia bisa berarti simbol kelemahan. Bisa juga
mencirikan keputusasaan yang amat dalam. Seolah, tak ada lagi titik sinar
harapan. Tapi, adakalanya menangis mencirikan hal lain. Ia justru menjadi inti
ungkapan cinta yang amat dalam.
Sering orang bilang kalau menangis
justru membuat ketidakberdayaan kian tak berdaya. Tak urung, orang punya
anggapan buruk tentang menangis. Menangis merupakan simbol kelemahan. Di
sinilah, kenapa orang-orang ingin menunjukkan kekuatan diri dengan tidak
menangis. Biarlah darah mengalir, asal air mata tak menetes.
Orang Yahudi
begitu mencela anak yang biasa menangis. Selain sebutan cengeng, anak-anak
mereka yang mudah menangis dianggap rawan tidak mampu melawan musuh. Begitu pun
dengan Jepang. Orang tua di sana akan marah besar mendapati anaknya menangis.
Mereka berkayakinan kalau menangis hanya dilakukan oleh mereka yang tidak punya
prinsip hidup.
Di satu sisi anggapan ini mungkin benar. Tapi di sisi
lain, cap buruk tentang menangis bisa berdampak fatal buat perkembangan
kepribadian seseorang. Tidak tertutup kemungkinan, ketidakmampuan menangis bisa
berdampak pada tumpulnya kepekaan. Orang menjadi lebih peduli dengan urusannya
sendiri. Bahkan, bisa memunculkan rasa unggul yang berlebihan.
Pada
titik ekstrim tertentu, dampak merasa diri lebih unggul menjadikan seseorang
sulit diatur. Kadang, bisa menyuburkan sifat sombong. Pada titik inilah, jalan
mulai bercabang. Antara jalan lurus yang telah ditunjuki Allah dengan jalan
berkelok sebagai hasil eksperimen diri. Tidak tertutup kemungkinan, sebagai buah
dominasi sifat sombong, orang lebih memilih jalan gelap yang masih cari-cari
ketimbang jalan terang yang sudah terbentang.
Sejauh itukah dampak salah
pandang tentang menangis. Jawaban ini bisa kita lihat dari ciri khas orang
Yahudi dan Jepang. Di satu sisi mereka unggul dalam teknologi, tapi di sisi lain
lemah dalam kepribadian. Bahkan, bisa dibilang bermasalah. Begitu pun dalam hal
agama. Ruhani mereka begitu kering dari sentuhan nilai-nilai samawi. Mereka
selalu terjebak dalam hitung-hitungan materi seraya mengesampingkan nilai
kemanusiaan, apalagi persaudaraan.
Tengoklah tujuh sahabat Rasul yang
menangis menjelang perang Tabuk. Karena jarak tempuh ke Tabuk yang lumayan jauh,
sekitar lima belas hari perjalanan berkuda. Ada kebijakan Rasul yang secara
terpaksa diterapkan. Kebijakan itu mengatakan bahwa hanya memberangkatkan mereka
yang berkendaraan. Atau, bermitra dengan yang berkendaraan.
Sementara,
ketujuh sahabat ini tergolong miskin. Mereka tak lagi mampu menahan tangis
lantaran tak bisa ikut perang karena tidak punya kendaraan. Dengan sangat
terpaksa, mereka pun kembali ke Madinah. Mereka menangis bukan karena takut
jatuh gengsi karena tak ikut perang. Tapi, karena kehilangan peluang beramal di
jalan Allah.
Peristiwa ini diabadikan Alquran dalam surah At-Taubah ayat
92. “dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu,
supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh
kendaraan untuk membawamu.’ Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran
air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan.”
Tangis ketujuh sahabat teladan itu telah menunjukan satu hal
yang teramat kuat: kecintaan mereka dengan panggilan dari Yang Terkasih tak
kunjung sampai hanya karena mereka tak berdaya dengan hal yang teramat kecil:
kendaraan. Mereka sadar, kesempatan tak berulang dua kali. Belum tentu usia
mereka tetap panjang hingga pada panggilan jihad berikutnya. Dalam benak mereka,
inilah peluang besar untuk mengungkapkan cinta buat Allah dan Rasul-Nya. Kapan
lagi.
Menangis. Begitulah ungkapan dalam dari rembesan iman yang teramat
dalam. Sebagai wujud kekuatan cinta seorang hamba yang lemah dalam menunaikan
tugas dari Yang Maha Kuat dan Agung. Dan seperti itulah para sahabat Rasul
dikenal.
Adalah Abu Bakar Ashshiddiq r.a., seorang khalifah pertama,
mendapat gelar khusus dari anaknya, Aisyah r.a. Beliau dikenal dengan rojulun
bakiy, atau orang yang mudah menangis. Tangisnya sulit terbendung ketika
mendengar bacaan Alquran dari Rasulullah saat shalat di belakang beliau saw.
Aisyah pula yang tidak setuju ketika Rasulullah saw. menunjuk Abu Bakar
untuk mengimami shalat ketika beliau saw. sakit. Aisyah yakin sekali, kalau
ayahnya tidak akan mampu membaca satu ayat pun lantaran tak kuasa menahan
tangis.
Menangis ternyata tidak cuma didominasi kalangan sahabat generasi
tua. Sahabat Rasul yang tergolong remaja pun begitu mudah menangis. Hati mereka
begitu lembut, peka dengan sentuhan Rabbani.
Begitulah Abdullah bin
Umar. Putera Umar bin Khattab yang kala itu berusia sekitar enam belas tahun itu
biasa dua kali qiyamul lail dalam semalam. Di situlah ia menumpahkan rasa
cintanya kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pernah beliau r.a. melewati
sebuah rumah yang terdengar suara penghuni membaca Alquran. Hingga ketika sang
penghuni membaca, “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-Muthaffifin: 6), Abdullah mematung. Ia seakan sedang berdiri
berhadap-hadapan dengan Allah swt. Dadanya pun langsung bergemuruh. Ia
menangis.
Imam Ghazali pernah menulis. Suatu kali, Malaikat Jibril dan
Mikail menangis. Hal itu terjadi setelah mereka menyaksikan betapa Iblis yang
dulunya mulia menjadi hina. Iblis pernah dikenal sebagai al-Abid (ahli ibadah)
di langit pertama, az-Zahid di langit kedua, al-Arif di langit ketiga, al-Wali
di langit keempat, at-Taqi di langit kelima, al-Kazin di langit keenam; dan
Azazil di langit ketujuh manakala di Lauhul Mahfudz namanya menjadi
Iblis.
Mendapati tangis itu, Allah swt. bertanya pada Jibril dan Mikail,
“Kenapa kamu menangis?” Mereka menjawab, “Ya Allah, kami tidak aman dari tipu
daya-Mu.”
Seperti itulah mereka. Para sahabat Rasul kerap menangis
karena takut, harap, dan cintanya menjadi satu tertuju buat Allah swt. Dan
begitu pun dengan Jibril dan Mikail. Karena tak seorang pun yang bisa menjamin
kalau ia akan tetap dalam hidayah Allah.
Betapa bahagianya seorang hamba
Allah. Ia datang ke dunia dengan menangis, sementara manusia sekelilingnya
gembira. Dan kelak, meninggalkan dunia ini dengan gembira, sementara manusia
sekelilingnya menangis.
sumber :
saksi-online