Dalam kehidupan di tengah masyarakat, kita tidak bisa dari kehidupan
bertetangga. Karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana Islam mengatur
persoalan bertetangga ini.
Bila kita melihat dalam Alquran, yaitu surah
An-Nisa 36, kita mendapati tetangga itu ada dua macam. Yaitu, tetangga dekat dan
tetangga jauh. Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang tetangga yang
dekat dan yang jauh.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan, tetangga dekat adalah
tetangga yang dekat denganmu. Sementara, Naufi al-Bukali mengatakan, tetangga
dekat adalah tetangga muslim, dan tetangga jauh adalah Yahudi dan Nasrani. Imam
asy-Syaukani mengatakan bahwa secara umum tetangga dekat adalah tetangga yang
rumahnya dekat dengan kita, dan tetangga jauh adalah tetangga yang rumahnya jauh
dengan kita.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang batasan jarak
tetangga. Al-Auza'i dan Hasan berkata bahwa seserorang disebut tetangga selama
ia masih dalam jarak 40 rumah dari rumah kita, baik dari depan, belakang, maupun
samping. Ali r.a. mengatakan, siapa yang mendengar panggilan ia adalah
tentangga. Segolongan lain mengatakan, siapa yang mendengar panggilan salat, ia
adalah tetangga masjid. Ada juga yang berpendapat, siapa yang tinggal dalam
suatu kota, ia adalah tetangga.
Islam memerintahkan kepada kita untuk
berbuat baik kepada tetangga. Ini terlihat dalam firman Allah surah An-Nisa ayat
36 yang artinya, "... dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yagn jauh ...."
Sementara dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda,
"Senantiasa Jibril berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai saya
mengira bahwa ia (tetangga) berhak mendapatkan hak waris." (HR Muttafaqun
'Alaihi).
Imam Qurtubi mengatakan, yang dimaksud berbuat baik termasuk
di dalamnya adalah memberikan pertolongan, bergaul dengan baik, tidak menyakiti,
dan memberi pembelaan. Termasuk memberi pertolongan adalah memperhatikan dan
membantu kondisi ekonominya.
Berbuat baik kepada tetangga adalah dengan
tidak menyakitinya. Rasulullah saw. memberikan peringatan keras kepada orang
yang menyakiti tetangga. Beliau bersabda, "Demi Allah tidaklah beriman, demi
Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman." Para sahabat bertanya,
"Siapa yang tidak beriman, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Orang yang
tetangganya tidak aman dari kejahatan (gangguannya)." (HR Bukhari Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Tidak masuk surga orang yang
tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya." (HR Muslim).
Berbuat
baik kepada tetangga juga dilakukan kepada tetangga yang berakhlak buruk.
Demikianlah yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah memiliki
tetangga yang setiap malam senantiasa mabuk dan pulang larut malam sambil
bersenandung, "... oh mereka meninggalkanku ...."
Namun, pada suatu
malam Abu Hanifah tidak mendengar senandung itu lagi. Keesokan harinya ia
mencari informasi dan didapatinya ia telah ditangkap dan dipenjara. Abu Hanifah
kemudian datang kepada petugas penjara dan meminta agar pemuda itu dilepaskan
dengan harapan ia sadar dan bertobat.
Pemuda itu pun akhirnya
dilepaskan. Abu Hanifah lalu mendatanginya dan berkata, "Wahai anak muda, apakah
kami meninggalkanmu ataukah menjagamu?"
Pemuda itu berkata, "Terima
kasih atas kebaikanmu dalam memperhatikan tetangga. Saya berjanji di hadapanmu
untuk bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya." Lalu pada
berikutnya, pemuda itu menjadi pemuda yang saleh.
Di samping berbuat
baik, kita juga dianjurkan untuk memuliakan tetangga. Salah satunya dengan
memberikan hadiah meskipun kecil bentuk dan nilainya. Rasulullah saw. menasihati
Abu Dzar, "Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah daging, perbanyaklah airnya,
dan berilah tetanggamu." (HR Muslim).
Pada kenyataannya sulit bagi kita
untuk memberi kepada semua tetangga. Karean itu, yang diutamakan adalah tetangga
yang paling dekat dengan pintu rumah kita. Aisyah r.a. pernah bertanya, "Ya
Rasulullah, sesunguhnya aku mempunyai tetangga, manakah yang lebih berhak aku
beri hadiah?" Rasululah menjawab, "Yang rumahnya lebih dekat dengan pintu
rumahmu." (HR Bukhari).
Termasuk memuliakan tetangga adalah membiarkan
tetangga memanfaatkan sebagian fasilitas kita seperti menyandarkan kayunya ke
dinding rumah. Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah
seorang tetangga melarang tetangganya menyandarkan kayunya pada dinding
rumahnya." Abu Hurairah r.a. kemudian berkata, "Mengapa aku melihat kalian
berpaling dari sunah ini? Demi Allah (kalau kalian tidak kembali kepada sunah
ini) pasti aku lempari rumah kalian dengan kayu." (HR Bukhari Muslim).
Untuk menutup taujih ini, marilah kita dengar sabda Rasulullah
saw. berkaitan dengan hak tetangga. Muadz bin Jabal berkata, "Kami bertanya
kepada Rasulullah, 'Apakah hak-hak tetangga?' Rasulullah saw. bersabda, 'Bila ia
meminjam, pinjamilah; bila minta tolong, tolonglah; bila membutuhkan sesuatu,
berilah; bila sakit, tengoklah; bila wafat, iringkanlah jenazahnya; bila
mendapatkan kebaikan, bergermbiralah dan berilah selamat atasnya; bila ditimpa
musibah, ikutlah merasakan kesedihannya dan hiburlah. Jangan menyakitanya dengan
bau masakanmu kecuali engaku memberinya. Janganlah engkau tinggikan bangunanmu
untuk berbangga atasnya dan menyebabkan terhalangnnya angin ke rumahnya kecuali
dengan izinnya. Bila engkau memberi buah-buahan, berilah sebagiannya. Bila
tidak, sembunyikanlah dari penglihatannya dan janganlah biarkan anakmu keluar
dengannya (buah-buahan) yang menyebabkan anak tetangganya menginginkannya.
Apakah kalian memahami apa yang aku katakan kepada kalian? Tidaklah ada yang
bisa menuaikan hak tetangganya, kecuali sedikit sekali dari orang yang dirahmati
Allah'." (Hadits Hasan bisa dilihat di dalam kitab Jaami' Liahkaamil Qur'aan
jilid 5 hlm. 188).
Demikianlah dan semoga kita termasuk orang yang
berbuat baik, memuliakan dan memenuhi hak-hak tetangga. Amin. Wallahu a'lam.
sumber : Al Islam