Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali, suaminya.
"Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika
aku masih gadis dulu."
"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit
memerah. "Siapakah lelaki terhormat itu, dinda?"
"Lelaki itu adalah engkau,
sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin
mencintai isterinya.
Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali
di atas mungkin sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak
bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering
ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif bagi para
lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia bisa
seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?
Alangkah bahagianya, seorang
pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di
terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi
imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada
satu kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan
kepadamu, aku mencintaimu."
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka
yang telah dikaruniai kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan
ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih
hanya mimpi yang terus menggoda.
Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat
melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba
sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan?
Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah
lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu
dahsyat.
Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat
koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah
telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali
menari-nari.
"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang
kuimpikan selama ini."
"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya
yang kalem, dia mungkin yang kuharapkan."
"Dibalik senyumannya, apakah hanya untukku seorang..?"
Dan cinta itu
hadir.
Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat
perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan
ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semakin besar, teramat besar? Hingga
perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi
kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi kenikmatan; berpisah dengannya menjadi
sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.
Disaat banyaknya amanah terasa ringan jika dikerjakan bersama dengannya, disaat besarnya ujian seperti membalikkan telapak tangan saja, perjalanan yang jauh serta terjal terasa mengasyikan dan menyenangkan..
Indah. Tapi
ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar telah
menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu
menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah,
persiapan belum cukup atau kondisi belum mendukung, bekal pun tiada selain kenekatan. Menunggu pernikahan,
seminggu saja serasa setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta
terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati
semakin merasa bersalah.
Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan
sangat panjang lebar jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika.
Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa
terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang
keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah memiliki kekuatan untuk
mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya? Dengan kekuatan iman,
cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah
menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari
keridhaan Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci
Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Tanyakan pada keimanan dan
nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?
"Qul Aamantu
Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)
Wallahu a'lam.
sumber :eramuslim.com