JANGAN TANYAKAN APA YANG TELAH ISLAM
BERIKAN KEPADAMU,
TANYAKAN APA YANG TELAH KAU BERIKAN UNTUK ISLAM
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat
Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nahl:18)
Satu ayat diatas kiranya cukup untuk memberikan penjelasan kepada kita, bahwa
kita tak perlu lagi bertanya apa yang telah Allah berikan kepada kita, karena
Islam (dan Iman) adalah merupakan anugrah terbesar dan terindah yang Allah
berikan kepada kita.
Dengan Islam kita dimuliakan di dunia dan akhirat, dengan Islam kita
dikeluarkan dari kegelapan ke dalam alam yang penuh cahaya yang terang
benderang, dengan Islam kita terlepas dari kebodohon, dengan Islam kita
diselamatkan dari jurang neraka, dengan Islam kita menjadi “manusia”, dengan
Islam insya Allah kita akan kembali pada-Nya.
Lalu pertanyaan kedua, Apa yang telah kita berikan untuk Islam?
Perlu beberapa saat untuk memikirkannya, dan itupun masih perlu ditambah beberapa waktu lagi, lagi, lagi, karena hampir tak ada yang telah kita berikan untuk Islam sebelum ini.
Ketika generasi Islam pertama harus berperang mempertahankan panji-panji Islam,
berperang dengan kaum kafir jahiliyah, mempertaruhkan jiwa, raga dan harta
serta apapun yang mreka miliki, kita belum lahir, kita tidak ikut didalamnya.
Ketika generasi berikutnya, berjuang mempertahankan keutuhan Islam dari ancaman
dan perpecahan akibat fitnah kaum munafik, kita juga tidak ikut didalamnya.
Ketika umat Islam dulu berusaha menyebarkan Islam keberbagai wilayah, kita juga
tidak ikut didalamnya.
Ketika umat dan generasi terbaik umat ini menyusun mushaf al qur’an, kita juga
tidak ada dan tidak ikut.
Ketika umat dan generasi terbaik umat ini mengumpulkan, menyaring dan meneliti
ratusan ribu hadits, sebagai sumber
hukum kedua setelah al qur’an, kita juga
tidak terlibat.
Ketika umat dan generasi terbaik umat ini melahirkan karya-karya yang kemudian
hari mampu merubah peradaban dunia, kita juga tidak hadir disana.
Ketika umat dan generasi terbaik umat ini berjuang mempertahankan aqidah dan
wilayahnya, kita juga tidak ikut;
Ketika umat dan generasi terbaik
umat ini menjadi kiblat peradaban dan pelita ilmu pengetahuan, kita juga tidak
memberi kontribusi apapun;
Jadi peran kita dimana? Dimana peran kita
yang mengaku umat Islam?
Peperangan mempertahankan keutuhan aqidah, sebagaimana dialami umat-umat
terdahulu sudah berlalu, mushaf al
qur’an sudah dibukukan, Hadits sudah
dibukukan, buku-buku karya ulama Islam sudah banyak tersebar, lalu peran apa yang dituntut dari kita
sekarang adalah bagaimana menjaga apa yang telah dengan susah payah
diperjuangkan dicapai umat-umat pendahulu kita akan tetap abadi dan lestari dan
agar jerih payah dan perjuangan mereka memiliki makna dan tidak sia-sia, itu
saja!
Caranya?
Menjaga Laa ilaha ilallah dalam diri
dan keluarga kita dari serangan virus-virus kekufuran yang mungkin disebarkan
oleh syetan dan antek-anteknya. Sekali mutiara ini tercabut dari hati kita,
akan merupakan sebuah bencana yang maha dahsyat, bukan saja dikehidupan dunia,
lebih dari itu bencana akhirat akan menunggu dan menjerat kita.
Tak berguna harta benda melimpah, ketika
iman tak lagi berada didalam dada, tak guna lagi wajah tampan rupawan, ketika iman coreng moreng dan berantakan, tak
guna tinggi pangkat jabatan ketika iman menjadi tergadai, tak guna hidup, jika hanya kan menjadi bahan bakar neraka
kelak.
Berjihad untuk membebaskan diri kita dari perbudakan dan penjajahan hawa nafsu
– perbudakan, apapun bentuknya, selalu melahirkan orang-orang yang diperbudak,
menjadi kehilangan kemerdekaan dan jati dirinya. Orang yang diperbudak oleh
nafsu hewaninya, akan kehilangan
kemerdekaannya untuk menghambakan diri pada Allah swt semata, orang yang
diperbudak nafsu hewani akan kehilangan identitas kemanusiaannya, sehingga dia
lebih menyerupai mahluk lain selain manusia. Orang yang diperbudak nafsu
hewaninya hanya akan menjadi budak-budak syetan durjana.
Berupaya meningkatkan ilmu agama dan ilmu lainnya – ilmu adalah satu syarat
mutlak sahnya suatu amaliah ibadah. Kita tidak bisa terus menerus dan selamanya
berlindung dibalik kata “tidak tahu” sehingga kesalahan-kesalahan kita dianggap
wajar, selama kita diberi kesempatan yang sangat luas untuk menutupi defisit
ilmu kita. Internet ada, buku banyak, ustadz dan ulama masih banyak disekitar
kita, lalu apa lagi alasan kita untuk “tidak tahu” selain karena kemalasan dan
kesombongan kita yang sudah merasa pintar dan merasa cukup dengan apa yang ada
pada kita.
Zaman terus berubah, roda kehidupan terus
berputar, kita hanya akan lebih banyak menjadi penonton daripada pelakon selama
kita masih menggunakan paradigma lama yaitu malas dan sombong untuk belajar.
Berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan yang masih membelit sebagian umat –
“Seandainya kemiskinan itu bisa dibunuh, niscaya aku yang pertama akan
membunuhnya” demikian ungkapan salah seorang sahabat, yang menyadari sepenuhnya
betapa bahaya laten yang tersembunyi dibalik kemiskinan dan kebodohan yang
membelit seseorang. Bukankah maraknya orang yang menukar akidah dengan beberapa
dus mie intant dan sejumlah uang, diakibatkan kemiskinan dan kebodohan yang
masih menyelimuti mereka. Bukan hanya kemiskinan dan kebodohan lahiriah
sematra, tapi juga kemiskinan akidah dan kebodohan spiritual sebagaian dari
mereka, sehingga dengan relatif gampang mereka menukar mutiara akidahnya dengan
barang dan uang yang akan habis hanya dalam itungan hari. Dan ini menjadi
tanggung jawab kita sekarang untuk memeranginya.
Kita ambil contoh zakat. Ummat Islam
di negara ini merupakan mayoritas. Yang tergolong mampu pun banyak. Jika semua
ta’at berzakat dan pengelolaan dilakukan oleh yang amanah maka cukuplah
digunakan untuk membangun negeri ini, mengentaskan kemiskinan, membangun
fasilitas-fasilitas bermanfaan, dan lain sebagainya.
Menghidupkan nilai-nilai Islam dalam perilaku sehari-hari – Islam besar karena
umatnya mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang diajarkannya dalam perilaku dan
kehidupan sehari-hari. Kebarat kata Islam, kesana kita menuju, ketimur Islam
bilang, ketimur pula kita mengarah, bukan sebaliknya. Islam adalah Rahmatan
lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam, dan jika sampai saat ini Islam dan
umatnya masih terpuruk dipinggir-pinggir panggung sejarah, itu lebih
dikarenakan makin menipisnya nilai – nilai Islam ditengah- tengah kehidupan
kita umatnya.
Tidak ada sesuatu yang besar, jika tidak dimulai dari yang kecil. Jaga akidah
mulai dari diri dan keluarga kita dulu, bebaskan diri dan keluarga kita dari
nafsu hewani dulu, tingkatkan ilmu agama dan pengetahuan dari lingkungan
terkecil dulu, pun demikian dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan, Mulai
dari yang kecil, Mulai dari diri sendiri dan Mulai dari sekarang, saat ini
juga.
Insya Allah jika setiap individu, sekecil apapun bersumbangsih terhadap Islam,
maka Islam akan kembali menemukan jati dirinya sebagai agama dan cara hidup
yang mampu menjamin umatnya sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.
Tanpa dimintapun, Islam akan memberikan timbal balik jauh lebih besar dari pada
apa yang telah kita tanam, dari itu, Mulai dari yang kecil, Mulai dari diri kita, dan Mulai sekarang. Yuukk.. kita berinvestasi
untuk Islam.
Wassalam
Sumber : bahasahati.blogspot.com