Mengingat Ikrimah bin Abu Jahal adalah mengingat sosok sahabat nabi yang menjadi
tauladan dalam beritsar. Ikrimah menjadi contoh kemuliaan pribadi yang
mengutamakan kepentingan orang lain. Sejarah mencatat, di antara orang-orang
yang termasuk dalam barisan Perang Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin
Abu Jahal dan Suhail bin Amar. Di saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat
yang memberinya air minum, akan tetapi mereka menolaknya. Setiap kali air itu
akan diberikan kepada salah seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka
masing-masing mereka berkata: “Berikan saja air itu kepada sahabat di
sebelahku.” Demikianlah keadaan mereka seterusnya, sehingga akhirnya mereka
bertiga menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan belum sempat meminum air
itu.
Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa sebenarnya Ikrimah bermaksud
untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia
melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah
berkata: “Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih
memerlukannya daripadaku.” Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris
melihat kepadanya. Akhirnya Suhail berkata: “Berikanlah air minum ini kepada
siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.”
Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara
mereka yang dapat meminumnya, sehingga ketiganya mati syahid.
Dari
cerita Ikrimah tentang beritsar, saya teringat tentang ucapan seorang ulama yang
mengatakan bahwa mengutamakan orang lain tidak perlu dengan melakukan hal-hal
yang besar. Kita dapat melakukan hal-hal sederhana yang mungkin oleh orang lain
dianggap remeh. Di dalam angkutan kota misalnya, bantulah orang lain dengan
duduk di tempat yang memudahkan orang untuk masuk. Jika tempat duduk yang lain
masih kosong, sebaiknya tidak duduk di dekat pintu dengan alasan lebih gampang
untuk turun, lebih segar karena terkena angin dari arah pintu atau alasan-alasan
yang menyenangkan diri sendiri lainnya padahal hal tersebut justru menyulitkan
orang lain yang akan masuk. Begitu pula halnya jika kita menghadiri majelis
taklim. Sering kita duduk di tempat-tempat yang justru menyulitkan orang lain
yang akan masuk, di tangga atau di dekat pintu masuk misalnya. Padahal tidak
terlalu sulit bagi kita untuk mengambil tempat duduk di tempat lain meskipun
mungkin tidak senyaman di tangga atau di dekat pintu.
Satu contoh
pengamalan konsep beritsar oleh masyarakat dapat ditemui di Jepang. Jika kita
menaiki tangga berjalan, sebaiknya mengambil tempat di bahu kiri, karena bahu
kanan biasanya digunakan oleh orang lain yang hendak bergegas menuju tempat
lain. Contoh lainnya, pengendara mobil biasanya memberi kesempatan kepada
pengendara sepeda untuk menyebrang, utamanya pada jalan-jalan yang tidak
menggunakan lampu lalu lintas. Mungkin contoh ini hanyalah contoh kecil, tapi
memberikan kenyamanan yang tinggi pada masyarakatnya karena kepentingan orang
lain terperhatikan. Masih berkaitan dengan itsar. Contoh yang lain dari Nasrudin
Hoja. Meskipun cerita ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan teladan.
Guru Nasrudin Hoja mengajarkan pada Nasrudin, bahwa salah satu ciri
pribadi yang mulia adalah dengan mengutamakan kepentingan orang lain. Suatu
hari, Nasrudin dan gurunya makan di sebuah warung makan. Pelayan kemudian
menyajikan 2 buah piring berisi ikan, yang salah satu piringnya berisi ikan yang
lebih besar dari ikan di piring lain. Dengan tangkas Nasrudin mengambil ikan
yang besar. Terkejut, gurunya berkata pada Nasrudin 'Bukankah sudah kuajarkan
kepadamu bahwa pribadi yang mulia adalah mereka yang mengutamakan kepentingan
orang lain?'. Nasrudin menjawab 'Benar Guru, dan saya bermaksud untuk memuliakan
Guru.'
Mudah-mudahan yang kita teladani adalah sikap Ikrimah dalam
beritsar, dan bukannya sikap Nasrudin Hoja.
Waallahu’alam bishshowab.