Laman

Jumat, 15 Juni 2012

Khalifah Umar dan Mahar



“Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?” seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah. Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya menyatakan, “Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul mal.”
Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’ [4]:20)
Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Setidaknya ada tiga. Pertama, betapa Islam mengakomodasi peran perempuan. Mereka punya kesetaraan untuk mengungkapkan pendapat. Kedua, sebagai khalifah, Umar telah mencontohkan sikap legawa pemimpin dalam menerima kritikan dari rakyatnya. Umar jujur mengakui kebenaran ucapan perempuan itu meski di depan orang banyak, tanpa merasa gengsi. Ketiga, sebagai rakyat, perempuan itu merasa punya tanggungjawab meluruskan ketika pemimpinnya bersikap keliru. Dan inilah dakwah yang paling berat, menegur penguasa yang salah.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Jihad yang utama adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa zhalim.” (At-Tirmidzi dan Al-Hakim)