Hati manusia ibarat sebuah cermin. Sebuah cermin yang bersih akan terlihat berkilat dan jernih. Cermin seperti ini bisa menerima dan memantulkan cahaya yang datang. Juga bisa untuk bercermin bagi seseorang yang berada dihadapannya.
Berbeda dengan cermin yang berdebu. Cermin seperti ini akan terlihat suram dan kotor. Cermin seperti ini tidak bisa menerima dan memantulkan cahaya yang datang. Juga tidak bisa atau kurang memuaskan untuk seseorang bercermin padanya.
Begitulah hati manusia. Jika hati bersih maka akan mudah seseorang menerima pengajaran, nasihat dan hidayah. Karena hati yang bersih adalah tempat segala kebaikan. Tempat cahaya masuk.
Selayaknya cermin yang jernih harus selalu dibersihkan dengan cara mengelapnya. Begitu pula hati. Hati harus dicuci dengan taubat. Dikeringkan dengan amal ibadah dan ketaatan. Diwangikan dengan dzikir. Dari sana akan muncul tampilan luaran yang menarik dan mempesona. Yang kita kenal sebagai akhlakul karimah atau budi pekerti yang mulia.
Karena semua perbuatan bersumber dari hati. Perbuatan yang baik muncul dari hati yang bersih. Perbuatan jahat dan maksiat timbul dari hati yang kotor. Sebagaimana sabda nabi SAW:
“Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah, kalau itu baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah bahwa ianya hati”. (dari hadits 40 Imam Nawawi).
Menurut Ibnul Qayyim Al Jauzi, hati manusia digolongkan menjadi tiga bagian:
Pertama, Hati yang sehat (Qolbun Salim). Hati yang sehat adalah hati orang beriman. Hati ini adalah hati yang hidup, hati yang bersih, penuh ketaatan, terang dengan cahaya petunjuk ilahi, tempat bernaung nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang). Hidup di dunia dengan ketenangan, meninggal dalam ketenangan dan di akhirat akan datang kepada Allah juga dengan ketenangan.
Kedua, hati yang sakit (Qolbun Maridh). Hati ini sakit karena banyak debu dan noda kemaksiatan. Pada kotoran yang melekat itu berkembang kuman yang akhirnya memangsa hati yang asalnya suci. Hati ini biasanya dimiliki oleh kebanyakan orang Islam. Mereka mengetahui kebenaran namun berat melaksanakannya. Kadang-kadang juga masih melanggar larangan Allah dengan berbuat maksiat atau kejahatan. Mereka melakukan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, baca al Qur’an dan amalan lainnya. Namun masih juga mau menipu, pacaran, riya, memfitnah, judi, zina, korupsi , pergi ke dukun atau berbagai maksiat yang lain.
Maka berhati-hatilah dari memiliki hati yang sakit seperti ini. Semua amalan kebaikan bisa-bisa hangus oleh amalan maksiat dan kejahatan, sebagaimana api memakan kayu bakar. Sia-sialah apa yang diusahakan di dunia. Di akhirat menjadi manusia yang merugi. Rugi karena timbangan amalan jahat lebih berat dibandingkan amalan kebaikan.
Jika terindikasi hati ada penyakit, segeralah diobati. Jangan sampai terlambat sehingga nyawa sudah di tenggorokan. Pada masa itu pintu taubat sudah tertutup. Saat sekarang ini, ketika masih diberi umur yang panjang, segeralah bertaubat. Pintu taubat dibuka lebar oleh Allah. Pintu taubat seluas langit dan bumi.
“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS: Ali Imran: 133)
Ketiga, hati yang mati (Qolbun Mayyit). Inilah hatinya orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Hatinya gelap, tertutup dan mati. Tidak ada cahaya sedikit pun jua. Isinya hanya pengingkaran kepada fitrah, benci kepada ketaatan, memusuhi orang beriman dan berusaha menyesatkan atau mengajaknya untuk mengikuti mereka. Hanya hidayah Allah yang bisa menghidupkan hati mereka.
Demikianlah sedikit uraian mengenai hati. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu membersihkan hati. Sehingga hati kita menjadi bersih dan sehat (Qolbun Salim). Dengan hati yang sehat kita memiliki jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah). Yang kelak akan kembali kepada Allah dengan limpahan ridhaNya.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27-28).