Laman

Jumat, 27 Januari 2012

Karena Cinta, Ia Kembali Bahagia


Satu bulan sudah, Farid berkutat dengan lingkaran kekecewaan, ada yang hampa dalam hidupnya, hilang arah tanpa tujuan, kini ia hanya menjalankan rutinitas kuliahnya saja, tanpa ruh dan semangat dakwah yang tinggi.
Dalam jangka waktu itu, ia pun hilang dalam lingkaran ukhuwahnya, tanpa kabar, ia sengaja menutup dirinya, ada perasaan malu, kecewa, marah, bercampur dalam satu warna hatinya. Meski ajakan untuk kembali ngaji terus menerus dilakukan oleh teman-temannya, tetapi ia kerap menolak dengan berbagai alasan.
“Aduh, tugas hari ini banyak banget, mana besok harus dikumpulin”, gumam Farid, sedikit menggerutu.

“Ya sudah, tidur dulu aja ah, besok pagi aja ngerjainnya”, dengan pasrah, ia menyerah dengan kumpulan tugas-tugas kuliahnya. Maklum, menjelang semester akhir, belum lagi skripsi yang belum mendapat restu dari dosen pembimbingnya.
“Astaghfirullah, sudah jam 5, Innalillah”, secepat kilat ia meluncur ke kamar mandi, menggosok gigi sekali gosok, dan wudhu dengan cepatnya.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabakaratuh, Assalamu’alaikum warahmatullah wabakaratuh.”
Dalam salam terakhir itu, yang Ia ingat adalah tugas-tugasnya yang masih berserakan di meja, namun seketika ia panik, karena jam sudah menunjukkan pukul 6.15, ia ingat janji bertemu dosen pembimbing hari ini.
Setelah mandi sekedarnya, ia bergegas dengan sepeda motornya, sesampainya di lampu merah, karena terburu-buru, Farid berusaha menerobos, namun tiba-tiba, dari sebelah kanan meluncur mobil dengan kecepatan tinggi yang langsung menabrak Farid.
Gubrak!
“Astaghfirullah”, dengan jantung berdebar dan tubuh yang berkeringat, ia tersadar dari tidurnya.

“Alhamdulillah, hanya mimpi”.
Sesaat kemudian ia beranjak menuju kamar mandi, dan menenangkan dirinya dengan basuhan air wudhu. Mimpinya tadi terasa begitu nyata. Jiwanya kembali tenang.
“Assalamu’alaikum, akh hari ini bisa ketemu gak”?
Satu nomor tidak kenal, membuat Farid bertanya-tanya.
“Alaikumsalam, afwan. Ini dengan siapa? Insya Allah Ana siang ini kosong, kalau pagi mau ketemu dosen pembimbing”.

“Oiya, afwan, Ana imam, suaminya Hani. Ba’da dzuhur kita ketemu di mushalla ya akh. Syukron”, jawaban singkat dari nomor yang tidak dikenal.
Berjuta Tanya memenuhi ruang pikiran Farid. Hanifah. Nama itu kembali muncul ketika Farid berusaha melupakannya. Namun, ini dari suaminya. Apa yang ingin dibicarakan, Farid menebak-nebak maksud imam, suaminya Hani.
“Akh, Ana di deket perpustakaan, pake kemeja biru, Antum dimana? Ana tunggu di sini yah”.
Satu pesan masuk.
“Assalamu’alaikum, akh imam?” Tanya Farid.
“Iya, Antum Farid?” tanya imam.
“Iyah akh”.
“Alhamdulillah, kita ngobrol di sini aja yah, Ana bawa martabak ini, dimakan akh, santai aja yah ngobrolnya”.

Suasana sejuk, santai, dan bersahabat, menambah akrab suasana siang itu. Udara yang panas, seakan tak berasa.

“Gini akh”, imam mulai membuka pembicaraan.
“Ana tahu tentang cerita Antum dari istri Ana. Guru ngaji Antum bilang ke Hani waktu itu, kalau Antum bermaksud menikahinya, namun Antum belum siap.  Seketika itu Hani serba salah, ia ingin menerima dan menunggu Antum, tetapi di sisi lain, ia tidak mau menyakiti perasaan sahabatnya”.
“Maksud Antum?” Tanya Farid, menyela cerita akh imam.
“Sebenarnya ada akhwat yang memiliki kecenderungan sama Antum, dan akhwat itu hanya menceritakan perasaannya kepada Hani, teman satu halaqahnya”.
“Karena tidak ingin menyakiti perasaan sahabatnya, Hani meminta kepada guru ngajinya untuk mencarikan seorang ikhwan segera, agar bisa menutup pintu harapan Antum. Dan seketika itu, Ana dikenalkan oleh guru ngajinya, selang sebulan, kami pun sepakat untuk menikah.”
“Istri Ana, Hani, ingin sahabatnya berjodoh dengan Antum, karena menurutnya, kalian cocok dan serasi.
“Ana boleh tahu siapa akhwat itu”, Tanya Farid penuh heran.
“Kata istri Ana, Antum pasti kenal. Katanya, kalian pernah ketemu saat baksos dulu.”
“Ana minta kontak guru ngaji Antum aja, biar nanti bisa langsung diproses”.
“Tapi, Ana gak tahu siapa akhwatnya akh, Ana harus tahu dulu, baru bisa diproses”, jawab Farid.
“Lagipula, sudah sebulan ini Ana gak ikut ngaji lagi akh”, lanjutnya.
“Loh. Kenapa akh?” tanya akh imam dengan kagetnya.
“Akhi, dalam kondisi apapun, ruh kita perlu dijaga, salah satunya dengan mengikuti pengajian, yang tidak hanya ilmu yang disampaikan, akan tetapi ukhuwah atau persaudaraan. Ukhuwahlah yang membuat ruh kita bersemangat dan meningkat”.
“Ana akan kasih tahu siapa akhwat itu, tetapi melalui guru ngaji Antum”.
“Thayyib, ini nomernya, nanti Ana kontak beliau, sebenarnya, Ana juga kangen, pengen kembali bersama  teman-teman pengajian. Ana butuh mereka, dan Ana butuh dakwah bersama mereka”.
“Thayyib, Alhamdulillah, segerakan menuju ampunan dan surga Allah Akhi, berkumpullah dengan orang-orang shalih.”
Obrolan panjang siang itu, terasa menyejukkan suasana Farid.
Ia seakan mendapat kekuatan besar yang menggerakkan langkahnya, bukan tentang siapa akhwatnya. Akan tetapi, keinginan kuat untuk kembali mengikut pengajian pekanan, bersama guru dan teman-temannya itulah yang membuat Farid begitu bersemangat.
“Assalamu’alaikum, afwan ustadz, Ana Farid, Ana boleh ikut pengajian lagi gak ustadz?”
“Alaikumsalam, Akhi Farid, kita semua kangen sama Antum, setiap ajakan kita gak pernah Antum pedulikan, namun, dalam setiap akhir pengajian, kita selalu berdoa untuk Antum. Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa Ana dan teman-teman Antum, seperti biasa, kita liqo setiap malam jumat, kali ini di rumah Ana.”
“Oiya akh, akhwat yang diceritakan akh imam, namanya Ulfa. Kalau Antum sudah siap dan ok, biar pekan ini bisa langsung diproses.”
“Iya Ustadz, insya Allah, kalau menurut Ustadz, akhwat ini cocok dan baik untuk Ana, insya Allah, Ana percaya sama ustadz.”
“Thayyib, insya Allah. Jangan lupa yah, malam jumat liqo di rumah Ana, dan nanti akhir pekan, Antum ke rumah Ana yah, biar langsung ta’aruf sama akhwatnya.”
“Iyah Ustadz, syukron”.
Setelah menutup teleponnya. Ia merebahkan dirinya.
Farid membuka memorinya, mengingat-ingat satu nama, Ulfa.
Kemudian ia teringat dengan satu sosok yang begitu menjaga hijabnya, yang menjaga pandangannya, sosok yang anggun.  Apakah, sosok itu yang bernama Ulfa? Yang selalu dibicarakan oleh teman-temannya? Yang terkenal dengan kebaikan akhlaq dan agamanya?
Farid kembali bertanya-tanya.  Namun, yang membuatnya bersemangat, bukan karena akhir pekan ini ia akan ta’aruf dengan seorang akhwat, tetapi, pertemuan kembali bersama sahabat-sahabat perjuangan.
Kini ia sadar, apa yang menurutnya baik, belum tentu baik menurut skenario Allah.  Dalam kasus jodoh, lelaki yang baik, insya Allah akan mendapatkan wanita yang baik. Kini, Farid berusaha memperbaiki dirinya, memperbaiki kembali niatnya, dan yang lebih utama, memperbaiki imannya.
Seketika ia ingat akan firman Allah,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (QS. An Nuur: 26)
“Assalamu’alaikum”
“Alaykumsalam, wah, Alhamdulillah, Akh Farid”, seperti menyambut artis, teman-teman halaqahnya langsung bangkit dari duduknya dan menyalaminya.
“Ke mana aja akh? kita pada kangen sama Antum nih”, ungkap akh Rijal.
“Alhamdulillah, baik Akhi, oiya, hari ini Ana diminta kultum sama ustadz, katanya beliau telat. Materi kultumnya, tentang cinta”.
“Asyik nih. Sepertinya, ada yang sedang berbahagia… hehe…” ungkap akh Rijal.
“Sudah…sudah… nanti Ana ceritakan deh kisah ksatria cinta, hehe… mari mulai dengan membaca basmalah”.
“Bismillahirrahmanirrahiim”.
Karena cinta, membuat kita bahagia.
Cinta suci, cinta yang mengilhami.
Cinta kepada yang Maha Mencintai.
Inilah kebahagiaan hakiki.
Cinta bersama para pecinta.
Dijalan CintaNya para Pejuang dakwah
Cinta inilah, yang ‘kan menghantarkan kita kepada belahan jiwa.
Cinta inilah yang membuat kita bahagia.