Ada seorang kyai pemilik sebuah pesantren kecil yang punya seekor burung Beo.
Burung beo ini pandai sekali bercakap-cakap. Dia memang dipelihara sejak masih
kecil oleh Kyai tersebut. Sebut saja namanya Kyai haji Mustafa.
Kyai
Haji Mustafa ini sangat sayang pada burung beonya. Burung beo ini ditaruhnya di
depan kamarnya yang memang menghadap teras sekaligus menghadap bangsal kelas
pesantrennya. Jadi, hampir tiap pagi hingga sore burung beo tersebut mendengar
suara anak-anak pesantren tadarrus Al Quran dan ditambah dengan tiap malam
mendengar ceramah agama islam yang memang dilakukan setiap sepuluh menit
menjelang waktu tidur. Karenanya, tidak heran kalau burung beo itu selalu
melafalkan kalimat-kalimat thayibah setiap kali dia mengeluarkan suara-suara
yang meniru suara manusia. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, rasanya
sudah sering keluar dari mulut burung tersebut.
Tentu saja dengan suara
pelo khas burungnya. Bahkan, jika burung itu sedang tidur lalu ada yang
mengagetkannya, maka burung tersebut langsung spontan mengeluarkan kalimat
“Astaghfirullah.”. Hal ini membuat Kyai Mustafa kian sayang pada burungnya
tersebut. Murid-murid di pesantren itu, karena melihat gurunya begitu sayang,
juga ikut menyayangi si burung dan merawat serta menjaganya dengan sebaik
mungkin.
Suatu hari, di siang hari yang panas terik, ketika Kyai Mustafa
sedang istirahat di kamarnya tiba-tiba dia mendengar sebuah suara yang tidak
asing di telinganya.
“KWAAAKKKK..” Begitu bunyinya. Itu adalah suara
khas seekor burung Beo. Spontan Kyai Mustafa melompat dari tidur siangnya dan
berlari menghampiri si Burung Beo. Ada apakah gerangan? Ternyata, seekor kucing
besar telah menerkam burung beonya. Kucing itu segera berlari melihat kehadiran
Haji Mustafa. Darah berceceran di mana-mana dan leher burung beo yang malang itu
nyaris terputus. Lidah si Beo menjulur ke luar. Burung kesayangan telah pergi
menghadap Allah SWT. Haji Mustafa terpaku melihatnya, hilang kata-katanya,
bahkan kesedihan pun tak langsung terasakan karena rasa terkejutnya itu.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Hanya itu kalimat yang sempat meluncur dari
mulutnya.
Hari-hari selanjutnya, Haji Mustafa jadi terlihat murung. Dia
tampak semakin sering menyendiri dan mengasingkan diri dari keramaian
sekitarnya. Murid-muridnya ikut sedih dan berduka. Melihat gurunya sedih, semua
murid di pesantren itu juga ikut sedih dan tak bergairah. Mereka berusaha
mencari tahu bagaimana caranya agar guru mereka kembali bersemangat seperti
dahulu. Karena biar bagaimanapun, yang mati tidak akan kembali. Maka mereka
semua bersepakat untuk membelikan seekor burung Beo yang baru yang juga sudah
pandai berkata-kata. Hadiah itu diberikan pada sang guru dengan harapan bisa
menghilangkan kesedihan sang guru.
Demi melihat hadiah dari
murid-muridnya, haji Mustafa termenung. Ditatapnya semua murid-muridnya satu
persatu.
“Tahukan kalian, mengapa aku bersedih dan sering menyendiri
setelah kepergiaan burung beoku?” Murid-muridnya menggeleng. Dalam hati mereka
berkata, apakah hadiah yang mereka berikan tidak memenuhi standar yagn
dikehendaki gurunya?
“Aku bersedih bukan karena kehilangan si Beo. Bukan
anak-anak. Aku bersedih karena aku berada di dekat si Beo ketika nyawanya
meregang. Aku terkejut, karena si Beo yang lidahnya sudah sangat fasih
mengucapkan kalimat Thoyibah, yang mulutnya tak henti memuji Allah bahkan yang
terkejutnya pun tak pernah lupa pada nama Allah, ternyata di akhir hidupnya,
yang keluar dari mulutnya bukan nama Allah. Burung Beo itu lupa dengan semua
kalimat Thoyyibah yang sudah dihapalnya justru di akhir hidupnya. Aku sedih,
sangat sedih karena aku takut, jika malaikat datang mencabut nyawaku, aku takut
akupun seperti si Beo. Lupa pada Allah.” Naudzubillahi min dzaliik.
Hmm…
itu cerita Haji Mustafa dan burung beonya seputar masalah kematian.
Kematian
Kematian adalah sesuatu yang pasti. Bisa jadi, kematian
adalah satu-satunya hal yang pasti di alami setiap manusia. “Dimana saja kamu
berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng
yang tinggi lagi kokoh…”(Q.S An Nisa : 78)
Kita mungkin kelak menjadi orang
tua, Kelak mungkin menjadi orang kaya tapi Mungkin pula menjadi orang miskin.
Kita mungkin saja mempunyai anak dan keluarga, mungkin juga tidak. Kita mungkin
bisa mengalami kesuksesan tapi mungkin saja kebalikannya. Sedangkan kematian ?
Setiap kita dapat dipastikan akan mengalaminya. Sesungguhnya, kematian adalah
sesuatu yang amat dekat, lebih dekat dari urat leher kita bahkan, namun sering
terlupakan.
Rasulullah pernah membuat garis-garis horizontal di pasir
dan mengatakan : “Ini adalah angan-angan manusia,” Kemudian ia manggambar
garis-garis vertikal sambil berkata, “Ini adalah hambatan atau kendala dari
garis-garis horizontal tersebut.” Kemudian dibuatlah garis yang mengelilingi
garis horizontal dan vertikal itu berbentuk kotak di luar kedua garis yang
dibuatnya di awal tadi. “Ini adalah kotak ajal manusia. Jika ia selamat dari
yang ini (garis vertikal) tentu tak akan selamat dari yang ini (garis kotak)”.
Yaitu kematiannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”(Q.S Ali Imran : 185)
Kita sering berpikir soal cita-cita dan
harapan hidup. Adakalanya setinggi bintang di langit. Kita ingin bisa seperti A
atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang sukses” di dunia
ini. Dalam mencapai cita-cita tersebut, ada saja hambatan yang akan menghadang.
Kita mungkin berhasil melewati berbagai kendala lain, namun tidak mungkin
mengatasi kematian. Karena itu, sudahkah kita berpikir soal cita-cita mati :
Mati seperti A atau B atau C atau siapa saja yang mewakili kriteria “orang yang
sukses” hingga saat kematian datang menghampiri mereka ? Orang yang sukses
menghadapi sang maut adalah mereka yang menutupi hidupnya dengan indah (husnul
khotimah).
Cita-cita bisa mati dalam keadaan husnul khotimah, itulah
cita-cita orang yang ingin sukses hingga titik akhir hidupnya.
Siapa
mereka ? Yaitu orang yang menjalani hidup dengan istiqomah (konsisten dengan
amal soleh), atau orang yang selalu menjaga diri dari perbuatan dosa juga orang
yang terbiasa melakukan evaluasi terhadap setiap amalnya. Mereka adalah orang
yang senantiasa menjaga kakinya dari menyambangi tempat maksiat. Mereka juga
tidak menggunakan anggota tubuh untuk berbuat dosa. Mereka selalu ingat akan
Allah, berbuat karena Allah, untuk Allah.
“Kami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati,
apakah mereka akan kekal ? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”(Q.S Al Anbiya :
34-35).
Hamid Al-Qushairy berkata, “Setiap orang di antara kita yakin
akan datangnya kematian, sementara kita tidak melihat seseorang bersiap-siap
menghadapi kematian itu. Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka,
sementara kita tidak melihat orang yang takut terhadap neraka, sementara di
antara kita yakin adanya surga sementara kita tidak melihat ada yang berbuat
agar bisa masuk surga. Untuk apa kalian bersenang-senang ? Apa yang sedang
kalian tunggu ? Tiada lain adalah kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan
membawa kebaikan ataukah keburukan. Maka hampirilah Allah dengan cara yang
baik.”
Soal kapan dan bagaimana mereka mati tidak menjadi persoalan,
karena ini rahasia mutlak Allah.
Bisa saja kematian merenggut kala mereka
tergeletak di tempat tidur, ada kalanya di saat kepala tersungkur sujud, ada
kalanya pula di medan peperangan bersimbah darah. Atau bisa jadi kematian datang
ketika kita sedang tertawa, atau bisa juga ketika kita sedang menangis. Kematian
bisa datang ketika kita sedang mengalami kesadaran tapi bisa juga ketika kita
sedang tidak sadarkan diri.
Salman al-Farisi ra, meninggal setelah sakit
keras. Menjelang kematiannya, Saad bin Abi Waqqash menengoknya. Saad melihat
Salman sedang menangis. Saad bertanya keheranan, “Ya Aba Abdillah, mengapa
engkau menangis, padahal Rasulullah saw meninggal dalam keadaan senang kepadamu,
begitu pula para sahabatnya.?” Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut
mati atau karena cinta dunia, tetapi aku teringat akan pesan Rasulullah saw,
“Hendaklah kalian mencari dunia seperti halnya seorang musafir membawa bekal
perjalanannya,” sedangkan engkau melihat apa yang ada di sekelilingku ini “
Sa’ad berkata, “Aku melihat di sekeliling Salman yang ada dalam ruangan itu,
tetapi aku tidak melihat kecuali barang-barang yang tidak bernilai lebih dari
dua puluh dirham.” Sesudah menjelang ajal, Salman berkata pada istrinya,
“Bawalah kemari tempat misk (minyak kesturi) itu. Ambilkan seember air !” Salman
lalu memasukkan misk itu ke dalam air, kemudian ia memerintahkan kepada
istrinya, “Percikkan air itu ke sekitarku karena sebentar lagi akan datang
makhluk Allah yang tidak mau disuguhi makanan, tetapi senang pada wangi-wangian,
kemudian kau tutup pintu dan tinggalkan aku seorang diri.” Istrinya berkata, “Aku
melakukan perintahnya dan aku menunggu sebentar di luar kamar. Tak lama, aku
mendengar suara lembut dari dalam, lalu aku cepat-cepat masuk dan ternyata ia
sudah meninggal dunia.
Innalillahi Wainna ilaihi rajiun. Sesungguhnya
segala sesuatunya itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Kita memohon kepada Allah atas karunia dan Kasih-Nya, agar dijadikan
golongan orang-orang yang bersegera mengejar ketertinggalan (dalam beramal),
termasuk dalam golongan orang yang berhati-hati dengan datangnya kematian,
mempersiapkan bekal diri sebelum mati, dan mengambil manfaat dari segala
petunjuk serta nasehat.
“Ya Rabbi, sungguh kami telah mendengar seruan
yang menyeru kepada iman : “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,” maka kamipun
beriman. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan kesalahan
kami, serta matikanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat kebajikan.
Ya Rabbi, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan
perantaraan rasul-rasul-Mu, dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat
nanti. Sungguh Engkau sama sekali tidak akan pernah menyalahi janji". (Q.S Ali Imran :
193-194)
“Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami serta memberi rahmat kapada kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang merugi.”(Q.S Al A'raf : 23)
“Ya Allah, Engkau adalah
Tuhanku, yang tiada Tuhan pantas disembah melainkan Engkau yang telah
menciptakan diriku. Aku adalah hamba-Mu, yang dengan segala kemampuanku
perintah-Mu aku laksanakan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan yang
aku perbuat terhadapMu. Engkau telah mencurahkan nikmatMu kepadaku, sementara
aku senantiasa berbuat dosa. Maka ampunilah dosa-dosaku. Sebab tidak ada yang
dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
‘Allahumma, ampunilah
kesalahan-kesalahan, kesengajaan, kebodohan dan keterlaluanku, serta dosa yang
terdapat pada diriku.”
“Allahumma, perbaikilah urusan agamaku yang
menjadi pegangan bagi setiap urusanku. Perbaikilah duniaku yang disitulah urusan
kehidupanku. Perbaikilah akhiratku yang kesanalah aku akan kembali. Jadikanlah
hidupku ini sebagai tambahan kesempatan untuk memperbanyak amal kebajikan, dan
jadikanlah kematianku sebagai tempat peristirahatan dari setiap
kejahatan.”
Aamiin, Allahumma Aamiin.
sumber : kafemuslimah.com