Dahulu ada seorang Ahli Kitab yang menyamar sebagai seorang
muslim dan berusaha mencari-cari kesalahan umat Islam. Berbagai majelis
pengajian pun telah ia datangi. Di sana, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang cukup pelik bahkan yang bersifat khilafiyah sehingga cukup menyulitkan bagi
sang ustadz untuk menjawabnya. Beberapa kali, memang, ia telah berhasil
"memojokkan" ulama-ulama dalam pertanyaannya. Diam-diam, sang Ahli Kitab pun
merasa bangga, karena ternyata para ulama yang ia jumpai tidak bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaannya di hadapan jamaahnya.
Pada suatu hari, ia
menghadiri majelis seorang ulama yang saleh. Para jamaah pun juga terlihat
banyak. Momen yang baik itu segera ia gunakan untuk 'menjajaki' kemampuan sang
ulama dengan mengajukan pertanyaan: "Wahai Tuan Guru, apakah makna sabda Nabi
Muhammad SAW, 'Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, karena sesungguhnya
dia memandang dengan cahaya Allah.' Saya sama sekali tidak mengetahui makna
hadits Nabi tersebut, bahkan para ulama yang telah saya datangi pun
demikian."
Tampaknya, ulama yang saleh itu bukan seperti kebanyakan ulama
yang telah didatangi Ahli Kitab itu. Beberapa saat setelah pertanyaan itu
diajukan, Sang Guru spiritual itu menundukkan kepalanya sejenak, kemudian
berkata: "Makna sabda Nabi Rasulullah SAW tadi yaitu potonglah zunnar (selendang
yang harus dikenakan oleh kafir dzimmi yang hidup di zaman Islam; untuk
membedakan mereka dengan umat Islam) yang sekarang terikat di dadamu dan
keluarlah engkau dari majelis ini!"
Betapa kagetnya sang Ahli Kitab
begitu mendengar jawaban itu. Begitu pula dengan para jamaah yang hadir pada
pengajian itu. Sebab, Sang Guru tidak hanya menjelaskan hakikat hadis Nabi saja,
tetapi sekaligus membongkar rahasia si penanya yang kafir itu. Secara spontan,
sang Ahli Kitab tadi segera tersungkur di hadapan ulama arif itu, kemudian
menyatakan keislamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Adapun
hadits Nabi SAW yang ia pertanyakan itu memang mengisyaratkan bahwa Allah SWT
akan memberi seorang mukmin cahaya sesuai tingkat keimanannya. Dengan nur-Nya
itu, dia mampu melihat hakikat segala sesuatu dan tidak tertipu oleh bentuk
lahiriahnya. Sebab, pada dasarnya, iman seseorang akan bertambah dengan ketaatan
yang ia kerjakan, sebaliknya menjadi berkurang dengan
kemaksiatannya.
Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh mencela orang
lain jika ia tidak merasakan kehadiran cahaya Allah tersebut dalam dirinya.
Allah berfirman dalam Surat an-Nur ayat 40: "Dan barangsiapa tidak diberi cahaya
oleh Allah, maka sedikit pun dia tidak memiliki cahaya." Soal mata hati ini,
Rasulullah bersabda: "Mintalah fatwa kepada hatimu (nurani), meskipun mereka
(ulama) telah memberimu fatwa." Hati nurani yang dimaksud Rasulullah di atas,
yakni hati yang bercahaya dan bebas dari belenggu hawa nafsunya.
republika - [Wawan
Susetya]