Perang
pemikiran dewasa ini sudah demikian hebat metode dan pengaruhnya. Kesalahan
dalam pemahaman terhadap nilai-nilai agama hampir terjadi pada seluruh lapisan
masyarakat. Norma pergaulan yang dulu dipegang dengan cukup erat oleh masyarakat
pun kini mulai tidak dilirik lagi atau setidaknya sudah mulai mengalami
pergeseran nilai. Tak pelak media informasi, khusunya media massa adalah sarana
yang paling efektif untuk melancarkan perang pemikiran ini. Kita seolah merasa
mendapat suatu ilmu, kemajuan, teknologi, dan kebudayaan baru padahal sejatinya
kita sedang dijajah. Tentu penjajahan yang terasa enak ini tidak akan membuat
kita terbangun dari tidur yang panjang.
Sesuatu yang dahulu dianggap baru
dan tabu kini sudah dianggap wajar bahkan seolah bukanlah suatu hal yang aneh
jika dilakukkan. Bahkan oleh sebagian kalangan, orang-orang yang tidak melakukan
hal ini yang baru dan tabu - dianggap sebagai orang yang aneh dan orang yang
tidak mengikuti perkembangan zaman.
Sekedar sebagai contoh, zaman dahulu
kalau ada orang yang bergandengan tangan berdua laki-laki dan perempuan- maka
pada lain hari orang tersebut akan ditegur oleh orang lain, karena hal ini
dianggap tidak sopan. Tetapi apa yang terjadi saat ini. Jangankan bergandengan
tangan, melakukan sesuatu yang lebih dari itu di keramaian pun bukan berarti
boleh dilakukan di tempat yang sepi- bukanlah suatu hal yang sulit untuk
dijumpai.
Hal yang penulis alami penulis tulis di bawah - menurut penulis
mewartakan hal yang sama, yakni bahwa sedemikian bergesernya pemahaman kita akan
nilai-nilai yang seharusnya kita anut.
Suatu petang di pinggiran kota
Jakarta ada seorang ibu yang memarahi putrinya karena memanggil kakaknya yang
sedang berduaan di kamar bersama tunangannya. Si ibu tadi memarahi putrinya
dengan alasan tidak sopan memanggil kakaknya yang sedang berada di
kamar.
Yang kemudian menjadi pertanyaan ialah siapa yang sebenarnya tidak
sopan. Menurut penulis adalah tidak sopan dan tentu saja tidak dibenarkan oleh
agama dua orang yang belum ada ikatan resmi dalam suatu perkawinan terlepas
sudah tunangan ataupun belum- berada di sebuah kamar dalam waktu yang bersamaan.
Namun anggapan si ibu tadi -boleh jadi anggapan beberapa orang lain- adalah
suatu hal yang wajar apabila ada dua orang yang belum menikah berada di sebuah
ruangan tanpa ada orang ketiga.
Penyimpangan-penyimpangan seperti inilah
yang merupakan hasil dari penjajahan pemikiran atau dalam bahasa arab dikenal
dengan istilah Ghazwul Fikri. Penjajahan ini makin membawa hasil karena
(celakanya) kita adalah bangsa yang kerap mencontek habis apa yang datang dari
barat sambil menanggalkan satu per satu ajaran agama yang masih melekat.
Mayoritas dari kita adalah orang-orang yang menganggap apa yang diperoleh dari
barat adalah suatu pelajaran yang baik, suatu hal yang modern, suatu hal yang
sangatlah pantas untuk dicontek habis-habisan tanpa melalui suatu saringan.
Dan celakanya lagi hal ini dicontohkan dengan baik oleh para pembesar
bangsa ini. Para pembesar bangsa ini daya tidak mau menyebutnya sebagai pemimpin
- dengan patuhnya melaksanakan apa yang telah menjadi pesanan bangsa adidaya.
Para pembesar bangsa dengan hebat memainkan tokoh sebagai kerbau yang dengan
mudahnya dikendalikan oleh orang yang memegang talinya.
Akhirnya muncul
sebuah kekhawatiran, akankah anak cucu kita menjadi orang-orang yang terjajah
pola pikirannya. Sangat wajar jika kekhawatiran ini muncul seiring dengan makin
maraknya media massa tak mendidik yang dengan mudahnya lewat di depan hidung dan
mata kita.
Jangan-jangan semua sepertinya sepakat akan jangan sampai
generasi kita menjadi seperti itu. Langkah yang perlu kita lakukan adalah
pembekalan agama sejak awal dan dimulai dari lingkungan terkecil yakni sebuah
keluarga. Tak bisa kita ingkari bahwa keluarga memegang peranan penting dalam
pendidikan dan pembentukan kepribadian anak. So kata kuncinya pilihlah
pendamping karena agamanya, bukan karena lainnya.
sumber : alhikmah.com |