Laman

Selasa, 22 November 2011

KATA KAKEKKU...


“Suatu saat, kamu akan mengalami sebuah zaman dimana orang-orang menjadi tuli, orang-orang menjadi buta, dan orang-orang menjadi lumpuh, dan mati rasa”.

Kalimat diatas adalah kata-kata yang keluar dari mulut kakek dalam sebuah obrolan keluarga beberapa tahun silam.


Sederet pertanyaan muncul demi mendengar penyataan yang “aneh” dari kakek; “Sebuah zaman dimana orang-orangnya menjadi tuli, menjadi buta dan lumpuh serta orang-orangnya mati rasa”,  zaman apakah itu?.



Kakek tidak pernah bisa menjelaskan secara eksplisit makna ucapannya, beliau hanya tersenyum sambil menjawab “Nanti kamu tahu sendiri jawabannya”, itu saja penjelasan kakek.



Di zaman kakek dulu, adzan dikumandangkan dari surau-surau tanpa menggunakan loudspeaker, paling banter panggilan shalat itu ditingkahi dengan pukulan beduk atau kentongan, end toh orang-orang yang dari sawah dan ladang bersegera berhenti bekerja dan bergegas ke surau untuk melaksanakan shalat.



Meskipun telinga mereka tidak “mendengar” panggilan adzan dan kentongan yang memang jauh dari ladang dan sawah mereka, tapi hati mereka “mendengar” panggilan dan seruan Allah itu, mereka cukup mendongak keatas, manakala matahari tepat diatas ubun-ubun mereka, saat itulah waktu dhuhur tiba. Begitu pun saat Ashar yang mereka tengarai dengan matahari yang telah condong ke arah barat, mereka bergegas kembali untuk menghadap sang ilahirabbi.



Kini di zaman cucunya, hampir setiap musholla dan masjid dilengkapi dengan sound system yang canggih, menara pengeras suara yang tinggi, yang memungkinkan suara adzan yang dikumandangkan terdengar dari berbagai penjuru dengan daya jangkau dalam radius ratusan meter.



Tapi kenyataannya sekarang, kita yang rumahnya di sekitar masjid atau musholla, kita yang kantornya bersebelahan dengan masjid dan musholla, seperti tidak mendengar lengkingan suara adzan dengan menggunakan sound system yang harganya puluhan juta, kita seolah-olah “tuli”, sehingga panggilan adzan dari kiri kanan kita yang saling bersahutan memanggil, tidak terdengar sama sekali.




Benar katamu kek, di zaman cucumu ini, sudah banyak orang “tuli” yang tidak bisa mendengar suara adzan!!!



Dahulu di zaman kakek, orang-orang lebih banyak menggunakan tanda dari matahari sebagai tanda sudah masuk waktu shalat, karena jam tangan atau jam dinding masih merupakan barang mewah dan mahal, sehingga sebagian orang saja yang memiliki dan mengenakannya, tapi toh mereka hampir tidak pernah tertinggal untuk shalat berjamaah dan shalat tepat pada waktunya.



Sekarang di zaman cucunya, hampir setiap orang mengenakan jam tangan dengan berbagai merek dan harga yang mahal, di handphone pun disetting agar muncul tanda waktu pukul berapa, dikomputerpun ada petunjuk waktu, jam dinding berserakan di kanan kiri tempat kita berada, tapi justru kenapa setelah sekian banyak jam dan petunjuk waktu ada di sekitar kita, kita malah tidak dapat melihatnya?



Kita seolah-olah “buta” dengan jarum dan angka angka di jam tangan kita. Untuk apa kita pakai jam tangan kalau bukan untuk mengetahui waktu? Lalu kenapa kalau kita tahu pukul +/- 12.00 itu waktu shalat dhuhur kita seperti orang yang tidak bisa baca jam?



Benar katamu kek; di zaman cucumu ini sudah banyak orang yang tidak bisa melihat, sudah banyak orang yang buta, sehingga tidak bisa melihat jam tangannya yang sudah menunjukan waktu shalat.



Dahulu di zaman kakek, lebih banyak orang yang bekerja di ladang atau sawah yang cukup jauh dari rumah dan tempat-tempat ibadah, mencangkul dan menggali tanah untuk bercocok tanam, tapi justru mereka menjadi orang-orang yang sehat dan kuat dan mereka tetap berusaha untuk bisa shalat tepat waktu dan berjamaah.



Kini di zaman cucunya, orang lebih banyak bekerja dikantor, di depan komputer. Mungkin karena kebiasaan mereka yang duduk berlama-lama di depan komputer itulah mereka menjadi “lumpuh”, sehingga ketika waktu shalat tiba, mereka tidak segera beranjak meninggalkan tempat kerjanya, tidak segera melepaskan mouse ditengah asyik browsingnya, pada entah apa yang sedang mereka browsing, keasyikannya itu, telah membuatnya seolah “lumpuh” untuk segera bergegas menuju tempat shalat.



Benar katamu kek; di zaman cucumu ini, sudah banyak orang yang lumpuh, sehingga mereka tak mampu lagi berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah”



Di zaman kakek dulu, ketika ada tetangga yang sakit atau meninggal, hampir satu kelurahan menjenguk, di zaman kakek dulu, ketika ada orang yang ditimpa kesulitan, hampir semua orang ramai-ramai membantu, di zaman kakek dulu, hampir semua orang merasakan apa yang dirasakan tetangga dan saudaranya.



Di zaman cucunya sekarang, ada teman sekantor yang tidak masuk selama seminggu pun, kita seperti tak pernah merasa kehilangan, ketika ada yang keluar pun biasa-biasa saja, tak peduli keluarga kawan kita bagaimana, tak peduli anak rekan kita seperti apa, toh mereka hanya sekedar “teman”.



Rasa simpati dan empati sebagai dasar lahirnya rasa cinta dan kekeluargaan sudah sedemikian menipis, sehingga hubungan antara sesama tak lebih dari sekedar hubungan kerja, hubungan bisnis, hubungan antara atasan dan bawahan, hubungan boss dan jongosnya, hubungan majikan dengan kacungnya, tidak lebih. Tidak ada lagu “rasa” yang menyertai hubungan-hubungan itu.



Benar katamu kek; di zaman cucumu ini sudah banyak orang yang mati rasa, mati rasa cintanya, mati rasa pedulinya, mati rasa empatinya, mati rasa kebersamaannya”.



 Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al Hajj:46)



Wassalam

Sumber :Abu Maulana(http://bahasahati.blogspot.com/)