“Suatu saat, kamu akan
mengalami sebuah zaman dimana orang-orang menjadi tuli, orang-orang menjadi
buta, dan orang-orang menjadi lumpuh, dan mati rasa”.
Kalimat diatas adalah kata-kata yang keluar dari mulut kakek dalam sebuah
obrolan keluarga beberapa tahun silam.
Sederet pertanyaan muncul demi mendengar penyataan yang “aneh” dari kakek;
“Sebuah zaman dimana orang-orangnya menjadi tuli, menjadi buta dan lumpuh serta
orang-orangnya mati rasa”, zaman apakah
itu?.
Kakek tidak pernah bisa menjelaskan secara eksplisit makna ucapannya, beliau
hanya tersenyum sambil menjawab “Nanti kamu tahu sendiri jawabannya”, itu saja
penjelasan kakek.
Di zaman kakek dulu, adzan dikumandangkan dari surau-surau tanpa menggunakan
loudspeaker, paling banter panggilan shalat itu ditingkahi dengan pukulan beduk
atau kentongan, end toh orang-orang yang dari sawah dan ladang bersegera
berhenti bekerja dan bergegas ke surau untuk melaksanakan shalat.
Meskipun telinga mereka tidak “mendengar” panggilan adzan dan kentongan yang
memang jauh dari ladang dan sawah mereka, tapi hati mereka “mendengar”
panggilan dan seruan Allah itu, mereka cukup mendongak keatas, manakala
matahari tepat diatas ubun-ubun mereka, saat itulah waktu dhuhur tiba. Begitu
pun saat Ashar yang mereka tengarai dengan matahari yang telah condong ke arah
barat, mereka bergegas kembali untuk menghadap sang ilahirabbi.
Kini di zaman cucunya, hampir setiap musholla dan masjid dilengkapi dengan sound
system yang canggih, menara pengeras suara yang tinggi, yang memungkinkan suara
adzan yang dikumandangkan terdengar dari berbagai penjuru dengan daya jangkau
dalam radius ratusan meter.
Tapi kenyataannya sekarang, kita yang rumahnya di sekitar masjid atau musholla,
kita yang kantornya bersebelahan dengan masjid dan musholla, seperti tidak
mendengar lengkingan suara adzan dengan menggunakan sound system yang harganya
puluhan juta, kita seolah-olah “tuli”, sehingga panggilan adzan dari kiri kanan
kita yang saling bersahutan memanggil, tidak terdengar sama sekali.
Benar katamu kek, di zaman cucumu ini, sudah banyak orang “tuli” yang tidak
bisa mendengar suara adzan!!!
Dahulu di zaman kakek, orang-orang lebih banyak menggunakan tanda dari matahari
sebagai tanda sudah masuk waktu shalat, karena jam tangan atau jam dinding
masih merupakan barang mewah dan mahal, sehingga sebagian orang saja yang
memiliki dan mengenakannya, tapi toh mereka hampir tidak pernah tertinggal
untuk shalat berjamaah dan shalat tepat pada waktunya.
Sekarang di zaman cucunya, hampir setiap orang mengenakan jam tangan dengan
berbagai merek dan harga yang mahal, di handphone pun disetting agar muncul
tanda waktu pukul berapa, dikomputerpun ada petunjuk waktu, jam dinding
berserakan di kanan kiri tempat kita berada, tapi justru kenapa setelah sekian
banyak jam dan petunjuk waktu ada di sekitar kita, kita malah tidak dapat
melihatnya?
Kita seolah-olah “buta” dengan jarum dan angka angka di jam tangan kita. Untuk
apa kita pakai jam tangan kalau bukan untuk mengetahui waktu? Lalu kenapa kalau
kita tahu pukul +/- 12.00 itu waktu shalat dhuhur kita seperti orang yang tidak
bisa baca jam?
Benar katamu kek; di zaman cucumu ini sudah banyak orang yang tidak bisa
melihat, sudah banyak orang yang buta, sehingga tidak bisa melihat jam tangannya
yang sudah menunjukan waktu shalat.
Dahulu di zaman kakek, lebih banyak orang yang bekerja di ladang atau sawah
yang cukup jauh dari rumah dan tempat-tempat ibadah, mencangkul dan menggali
tanah untuk bercocok tanam, tapi justru mereka menjadi orang-orang yang sehat
dan kuat dan mereka tetap berusaha untuk bisa shalat tepat waktu dan berjamaah.
Kini di zaman cucunya, orang lebih banyak bekerja dikantor, di depan komputer.
Mungkin karena kebiasaan mereka yang duduk berlama-lama di depan komputer
itulah mereka menjadi “lumpuh”, sehingga ketika waktu shalat tiba, mereka tidak
segera beranjak meninggalkan tempat kerjanya, tidak segera melepaskan mouse
ditengah asyik browsingnya, pada entah apa yang sedang mereka browsing,
keasyikannya itu, telah membuatnya seolah “lumpuh” untuk segera bergegas menuju
tempat shalat.
Benar katamu kek; di zaman cucumu ini, sudah banyak orang yang lumpuh, sehingga
mereka tak mampu lagi berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah”
Di zaman kakek dulu, ketika ada tetangga yang sakit atau meninggal, hampir satu
kelurahan menjenguk, di zaman kakek dulu, ketika ada orang yang ditimpa
kesulitan, hampir semua orang ramai-ramai membantu, di zaman kakek dulu, hampir
semua orang merasakan apa yang dirasakan tetangga dan saudaranya.
Di zaman cucunya sekarang, ada teman sekantor yang tidak masuk selama seminggu
pun, kita seperti tak pernah merasa kehilangan, ketika ada yang keluar pun
biasa-biasa saja, tak peduli keluarga kawan kita bagaimana, tak peduli anak
rekan kita seperti apa, toh mereka hanya sekedar “teman”.
Rasa simpati dan empati sebagai dasar lahirnya rasa cinta dan kekeluargaan
sudah sedemikian menipis, sehingga hubungan antara sesama tak lebih dari
sekedar hubungan kerja, hubungan bisnis, hubungan antara atasan dan bawahan,
hubungan boss dan jongosnya, hubungan majikan dengan kacungnya, tidak lebih.
Tidak ada lagu “rasa” yang menyertai hubungan-hubungan itu.
Benar katamu kek; di zaman cucumu ini sudah banyak orang yang mati rasa, mati
rasa cintanya, mati rasa pedulinya, mati rasa empatinya, mati rasa
kebersamaannya”.
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
(Al Hajj:46)
Wassalam
Sumber :Abu Maulana(http://bahasahati.blogspot.com/)